Penjala Manusia
Hai, Kala di sini. Ada dua tipe orang yang mengetuk pintu kamar seseorang. Yang pertama mungkin penagih hutang yang menggedor pintu dengan sangat keras untuk mengancam penghuni rumah. Atau mungkin juga kepala asrama yang menegur penghuni kamar yang ketahuan memasak di dalam kamar. Tipe kedua adalah seseorang yang mengetuk pintu dengan kasih untuk membawamu pada sebuah pengharapan.
Dalam kasus ini, aku bukanlah penghuni kamar itu, aku adalah saksi dari orang tipe kedua. Sabtu lalu, aku ditawarkan untuk menjadi penerjemah sukarelawan untuk sebuah acara orientasi di SMK. Salah satu gereja di Taiwan berkolaborasi dengan komunitas dari Hongkong mengadakan sebuah acara orientasi untuk orang-orang Indonesia dan Vietnam yang baru sampai di Taiwan. Sekolah SMK ini masih satu program dengan SMK-ku yang dulu. Kenyataan itu tidak mengubah kenyataan kalau semua ini hal yang baru untukku. Dulu, aku yang duduk mendengarkan terjemahan dari kakak kelas. Sekarang akulah kakak kelas yang dipanggil ‘cici’ itu oleh mereka. How time flies so fast!
![]() |
| Poster yang aku baru tau lima menit sebelum acara :') |
Anyway, karena jam sudah menunjukkan waktu acara dimulai tapi tidak ada orang sama sekali, kami jadi agak sedikit khawatir. Seseorang kemudian mengajakku untuk mengetuk satu-satu pintu kamar asrama untuk mengundang mereka datang. Aku cuma tersenyum formal sembari mengedip-kedipkan mataku tak percaya. ‘Oke, ini aku di sekolah antah berantah. Job desc-ku cuma terjemahin, sekarang merangkap jadi sales door-to-door juga, nih? Aku yang se-introvert ini disuruh gituan?’ ringisku dalam hati. Tapi aku gak ada waktu untuk menolak dan ogah-ogahan. Aku diam-diam mengekori mereka-mereka yang sudah lebih dulu berjalan ke arah asrama. Oh ya, aku juga baru bertemu dengan panitia acara itu satu jam sebelum acara ini. Di acara orientasi ini, aku benar-benar cuma kenal satu orang dari gerejaku. Itulah alasannya kenapa aku jadi orang terakhir yang datang ke acara itu. Tentu saja untuk menghindari kecanggungan yang mungkin tercipta.
Tapi, bukan Kala namanya kalau gak bisa berpura-pura jadi ekstrovert. Jadi, dengan sok pedenya, mulailah aku sok kenal sok deket (SKSD) sama semua orang pertama yang aku temui. Dan benar saja, kebanyakan dari mereka yang kutemui adalah orang Indonesia. Jadi sambil berbasa-basi, aku mengajak mereka untuk meramaikan acara ini. Yang aku kagumi, semua panitia acara ini tak bisa berbahasa Indonesia, tapi mereka mau mengetuk, menyapa, mengajak siapapun di balik kamar itu untuk meramaikan acara. Aku bisa melihat raut wajah mereka yang mencoba menebak bahasa apa yang harus mereka gunakan, Mandarin-kah? Bahasa Inggris-kah? Sekaligus menerka-nerka apakah orang yang diajak bicara, mengerti apa yang mereka katakan.
![]() |
| SKSD yang nge-skip pertanyaan nama kamu siapa |
Sedangkan aku sendiri, aku gak punya language barrier itu. Aku bisa dengan naturalnya berbicara bahasa ibuku. Jadi, kenapa aku harus malu mengajak mereka ke acara yang jelas-jelas merupakan acara orientasi di mana mereka bisa saling berkenalan dan hopefully, know the good news? Aku buang semua rasa canggung itu dan mulai memposisikan diri bukan sebagai orang yang baru kenal, tapi seperti kawan lama yang sudah lama tak bertemu. Sebuah skill yang baru beberapa tahun belakangan kupelajari bagaimana caranya.
Fast forward, jumlah siswa yang mengikuti acara itu di luar perkiraan kami, atau setidaknya aku. Ruangan kelas itu dipenuhi oleh sekian banyak pelajar sampai jumlah kursi yang tersedia pun tidak memadai. Akhirnya, kami semua berbarengan duduk di lantai. Yah, buat orang Indo sih, ngampar udah hal yang biasa. Tapi buat orang Hongkong ini, aku salut juga sih, mereka mau duduk di lantai.
![]() |
| Segini banyak yang dateng, woii |
Setelah selesai acara, kami kembali ke gereja untuk menceritakan pengalaman kami di sana. Karena setiap orang punya hal menarik yang mencuri perhatiannya. Sebagai satu-satunya orang Indonesia di sana, aku juga punya banyak poin yang baru kusadari. Karena lagi-lagi, bahasa Mandarinku yang tak sempurna, aku jadi tak leluasa menyampaikan pendapatku. Tapi lagi-lagi, ini merupakan pengalaman yang baru buatku, kan. Jadi daripada menuh-menuhin otak, aku tulis aja biar sedikit merasa lega.
Bagi kebanyakan orang Hongkong, mereka merasa bahwa orang Indonesia adalah orang yang hangat dan antusias. Apalagi ketika mereka bernyanyi, meski kebanyakan dari pelajar ini tidak mengerti lirik yang mereka nyanyikan. Mereka mampu memeriahkan suasana dengan melambaikan tangan dan bertepuk tangan. Sesuatu yang orang Hongkong sendiri jarang temui di negara mereka sendiri. Lain lagi kata orang Taiwan, meski terhalang bahasa, siswa-siswi ini mau untuk mencoba mengerti. Tapi aku melihat lebih dalam dari itu. Bagiku, ketika satu kata ‘gereja’ itu terucap dari mulutku, aku bisa melihat raut wajah mereka yang berbeda. Gereja menjadi sebuah kata sakral yang membuat atmosfer ruangan menjadi berbeda.
Ada satu orang Taiwan yang membuatku kagum namun juga merasa kurang setuju. Ia dengan semangatnya mengajak sekelompok remaja ini untuk pergi ke gereja keesokan harinya. “Besok harus ke gereja, ya!” Katanya dengan ceria. Kagum, sih. Karena aku pasti gak akan seberani itu untuk mengajak orang yang baru dikenal untuk ke gereja gitu aja. Temanku sendiri aja, aku harus menimbang-nimbang dulu untuk mengajaknya pergi ke gereja supaya tidak menyakiti hatinya. Tapi, hati siapa sih, yang sebenarnya harus takut kita sakiti?
Ada satu poin yang disampaikan oleh salah satu orang Hongkong yang membuatku menyadari, ‘oh ini loh, orang Indonesia itu.’ Ia bilang, agama adalah sesuatu hal yang sensitif di Indonesia. Sangat tidak mungkin, misalnya, aku sebagai orang Kristen pergi ke masjid untuk mendengarkan dakwah ustad. Kami memisahkan agama satu dengan yang lainnya dengan sangat jelas. Wong di KTP aja tertulis jelas agama setiap individu. Jadi wajar kalau begitu mendengar kata ‘gereja’ terasa penolakan halus dari mereka. Yang membuatku terheran-heran juga, orang-orang Taiwan ini bahkan tak bertanya apa agama mereka. Entah karena memang tidak tahu kalau warga negara Indonesia harus memilih satu agama untuk membuat kartu penduduk atau memang menurut mereka, pengetahuan ini tak menjadi masalah. Yang terpenting adalah mengajak mereka ke gereja.
Padahal buatku sendiri, background check ini membantu kita untuk memposisikan diri supaya tahu cara bertindak, cara membuka topik obrolan, cara merebut hati mereka. Di lain sisi, aku juga mengerti karena keterbatasan waktu, kita jadi tak bisa mengenal pribadi mereka masing-masing. Apapun tujuan mereka membuat acara ini dan apakah mereka meraihnya lewat acara ini, bagiku ini pengalaman berharga, sih. Bahkan ketika acara telah selesai, banyak dari mereka memelukku sembari mengucapkan terima kasih untuk bantuan menerjemahkannya. Sampai mereka mengucapkannya, I didn’t know that I played such a key role there.
![]() |
| 最後,全榮耀都歸給神 |







Komentar
Posting Komentar