BTS: Kala, Ngaca yang Bener

 

Hai, Kala di sini. Di postingan blog ini aku bakal bawa kamu ke proses kreatif di belakang layar soal proyek Paskah aku tahun ini. Proyek ini jadi proyek paskah pertamaku, loh. Aku biasanya buat proyek natal, sih karena lebih festive. Tapi karena udah lama gak ngegambar dan ada kesempatan ini, akhirnya aku mulai brainstorming ide. Gak bisa dipungkiri juga, sih kalau ide ini juga bukan aku asalnya, aku cuma jadi alat supaya ide ini bisa jadi produk yang kamu lihat sekarang di Instagram. Proses kreatif yang aku mau tulis ini, sebenarnya lahir karena ada banyak hal yang gak bisa aku tulis di IG. Intinya, gak bisa curhat terlalu panjang dan gak bisa kasih detail terlalu banyak. Termasuk penjelasan soal easter egg di setiap series dan detail-detail gambar kecil lainnya.

Komik ini rencananya punya lima series, karena kebetulan pas aku ada ide ini dan mau mengeksekusinya itu di bulan Maret akhir. Jadi masih ada lima minggu sebelum Paskah. Mungkin akunya juga yang terlalu ambisius karena menargetkan satu series setiap minggu. Padahal di tengah minggu-minggu itu, aku ada ujian tengah semester. Dan series ini memang rencananya bukan tentang pengalaman aku sendiri. Aku bakal menceritakan pengalaman teman-teman di sekitarku juga. Nah, yang menjadi kurang pertimbangan adalah aku gak nyangka dengan jarak yang berbeda dengan narasumberku dan kesibukan kami masing-masing. Itu bakal menghambat proses pembuatan komik ini. Tapi itu cerita untuk postingan selanjutnya. 

Karena masalah di series pertama bukan tentang narasumbernya yang tiba-tiba ngilang di tengah jalan, tapi soal narasumbernya yang belum mau jujur sama diri sendiri. Ya, aku sendiri. Waktu pertama kali buat rencana komik ini, aku cuma mau ceritain pengalaman-pengalaman sederhanaku sama Tuhan itu aja. Tapi kalau kayak gitu, antara series satu sama series selanjutnya jadi gak ada penghubung. Apalagi benang merah yang mau kuceritakan adalah soal rencana keselamatan Tuhan sampai Dia rela mati di kayu salib. Yang pertama yang harus diceritakan tentu saja soal kejatuhan manusia ke dalam dosa. Dan itu membawaku ke pengalaman kelam waktu aku awal sekolah di Taiwan. Ini tuh kayak pengalaman yang kalau bisa aku lupain, aku lupain aja gitu. Aku kubur dalam-dalam, gak usah ada dari teman-temanku yang tau soal pengalaman ini. Tapi, disisi lain, tanpa aku ceritain pengalaman ini, gimana caranya aku bisa menceritakan bagaimana Tuhan mengembalikan nilai diriku yang rusak? 

Jadi selama beberapa hari, aku beneran menunda-nunda pembuatan komik yang aku tahu betul detailnya seperti apa. Tapi, sampai pada satu hari, aku beneran duduk di meja belajar, mengambil pensil tabletku lalu mulai membuat draft kasar. Aku gak tau mau cerita mulai dari mana, aku gak tahu slide selanjutnya bakal tentang apa, aku bahkan gak tahu apa yang mau diceritakan. Tapi aku tetap menggambar dan membiarkannya mengalir begitu saja. Berikut adalah draft awal yang aku buat. Dalam prosesnya, aku banyak membuat perubahan. Ada yang berhasil sampai ke tahap post, ada yang cuma jadi sampai di draft doang. 




Bahkan ketika menggambar, pun aku masih belum tahu mau dinarasikan seperti apa. Kata-katanya seperti puzzle yang belum bisa aku susun untuk menjadi sebuah gambar utuh. Tapi aku bersyukur karena akulah orang pertama yang dijadikan kelinci percobaan proyek ini. Karena setelahnya, work of flownya makin bagus dan tertata jadi gak bikin bingung narasumber. Nah, untuk cover sendiri, aku memang kepikiran untuk buat jadi model podcast gitu. Karena proses nanya ke narasumbernya kaya wawancara gitu, kan. Selanjutnya, aku harus mikirin karakter yang cocok untuk mewawancarai para narasumbernya, termasuk aku sendiri. Karakter kambing aku pilih, karena sebelum Tuhan mati di kayu salib, bangsa Israel itu harus mengorbankan persembahan penebusan dosa dengan mengorbankan kambing atau domba. Makanya di postingan, ‘Selamat Hari Paskah’ di situ tertulis ‘Tuhan Yesus mati untuk aku dan kamu’. Akunya ya untuk aku sendiri dan si kambing. Maksudnya, dia gak usah dijadikan persembahan korban lagi. Itu pun-nya.

Siapa sangka, ternyata banyak juga yang suka sama karakter kambing, Si Embe ini. Nggak sih, literally cuma satu orang yang suka wkwk. Untuk selanjutnya, si Embe bakal jadi karakter pena aku yang mewawancarai para narasumber. Bahkan makin kesini, aku makin merasa karakter ini mirip sekali dengan kepribadian aku. Nanti aku sebut apa alasannya. Di akhir cerita, aku selalu menyelipkan ayat yang menjadi nafas komik ini. Ayat inilah yang menjadi penghubung setiap series dan juga menceritakan janji keselamatan Tuhan. Walaupun pada kenyataannya, ceritanya kebanyakan kabur dari ayat itu sendiri, sih. Yang paling berhubungan sama ayat itu cuma series yang ketiga, doang haha. Nah, yang paling improv dari setiap komik adalah bagian memenya. Aku sama sekali gak ada bayangan, tapi tiap kali menyusun komik ini, selalu aja ada ide nyeleneh yang muncul. Yang semoga menambah humor dari komik yang terkesan berat ini. Mungkin karena bagian cover dan bagian ayat Alkitab adalah satu-satunya bagian dimana aku bisa berkreasi dan terbebas dari cerita narasumber. 

Nah, easter egg-nya sendiri cuma di bagian ini. Kalau kamu telusuri garis semrawut yang paling nyambung di antara semuanya, garis ini akan membentuk sebuah nama. Seolah menandakan kalau aku yang dulu itu adalah aku yang kelam dan hancur. Gak bisa dibilang kalau ‘Kala’ yang sekarang gak akan hancur, sih. Tapi pada masa itu, nama ‘Kala’ memang belum sefamiliar sekarang. 


Kemudian, ini ada foto aku puk-puk boneka Snoopy-ku buat referensi gambar slide ini. Teman yang memelukku ini juga terinspirasi dari orang asli yang benar-benar seperti dikirim Tuhan untuk menemaniku. Makasih, Lu. 


Kalau yang ini, aku kasih salah satu gambar jadi yang pada akhirnya aku tinggalkan karena dirasa kurang cocok sama style gambar dan penyampaian visualnya. Berikut adalah sebelum dan sesudahnya. Aku puas banget sama versi sesudah, sih. 


Dan, selalu memang paling susah menggambarkan kuasa Tuhan yang sebegitu luar biasanya. Ini ada sebelum sesudahnya. Untung aku post yang sesudahnya, ya. Karena yang sebelumnya, cahayanya kaya jadi kusam gitu? Bahkan untuk selanjutnya, proses visual menangkap sekelebat kuasa Tuhan itu jadi yang paling lama saat aku menggambar. Itu juga yang jadi salah satu alasan kenapa aku gak pernah buat gambar soal Tuhan. Tapi melihat lukisan Katolik Roma jaman dulu dan bagaimana para maestro mencoba memvisualisasikan kuasa ini, aku jadi kurang lebih dapat referensi, sih. Meski masih banyak kekurangannya karena gak tau cara cahaya bekerja di gambar. 




Komentar

Postingan Populer