Artist: Si Romantis yang Ironis

 I don’t imagine the future, I create art. 

Itulah kalimat yang seharusnya kukatakan padanya waktu itu. Tapi kenyataannya, mulutku membisu tak bisa berkutik. Hai, Kala di sini. Beberapa hari yang lalu, seseorang bertanya darimana aku mendapat inspirasi gambarku. Aku tertegun sejenak, karena dialah inspirasinya. Sebagai seorang pelukis abal-abal, aku menyampaikan perasaanku di atas kanvas digital. Tak ada kata yang terucap, hanya goresan yang terlukis. Atau terkadang aku memang cuma mau mengabadikan momen itu lewat kacamataku saja. Dan karena berbagi itu indah, kusebarkan juga di media sosial. 

Cara kerjaku sederhana. Aku menggunakan indera perasaku untuk menguleni warna-warna lukisanku. Merah untuk perasaan yang berapi-api, membakar hati karena kelewat bahagia. Biru untuk perasaan sendu yang hinggap di bisingnya jalan raya, untuk ketenangan hati seperti air di danau. Ungu dan pink untuk perasaan haru-biru yang sulit dideskripsikan, untuk semua ujian yang membawa pada kedewasaan. Tapi ini tentu saja bukan soal warna saja, tapi juga soal seseorang dan sesuatu. 


Mereka bilang, seorang pelukis tak akan menggambar sembarang orang. Betul dan salah. Karena bagiku, sembarang orang tak menjadi masalah kalau lampu di otak kananmu sudah berkedip. Ujung-ujungnya jadi karya seni juga. Apalagi kalau sembarang orang itu juga menghasilkan hormon dopamin yang membuat kesemsem, ceileh. Tapi sembarang atau tak sembarang orang tak jadi masalah. 


Kesalahanku adalah melupakan aturan tidak tertulis seorang pekerja seni. Mereka tak menjelaskan. Mereka membuat, menggoreskan kuas mereka dalam diam, dalam kebisuan. Sedangkan aku, mulut gatalku ini malah menjelaskan terlalu banyak. Menjelaskan tiap detail yang tersembunyi dari setiap lukisanku dan tak membiarkan penonton menebak apa yang sebenarnya terjadi di sana. Dan itu jadi bumerang buat diriku sendiri. Semakin aku menjelaskan, semakin terdengar salah motivasiku. Semakin aku membela diriku sendiri, semakin terdakwa aku dibuatnya.


Rasa frustrasi itu bukan hadir karena perasaanku tak tersampaikan tapi karena aku merasa telah disalah pahami. Aku, si melankolis yang terlalu meromantisasi setiap hal kecil. Dua kerikil di tepi jalan bagai dua insan yang sedang bercumbu. Kain pel yang bergerak kiri-kanan layaknya seorang gadis kecil sedang melakukan putaran fouettés dengan rok tutu baletnya. Aku melihat dunia yang sama dengan kacamata yang berbeda. Jadi, ya aku meromantisasi setiap hal kecil. Itu benar. Tapi aku tak membayangkan masa depan dengannya. Aku hanya merasa, mencipta, saat ini. 

Jadi, kenapa seseorang harus takut kalau perasaan yang sengaja kutumbuhkan akan melukaiku suatu saat nanti? Padahal perasaanku hadir untuk mencipta, bukan untuk mencinta. 


(Mau nulis anjayy, tapi entar kerennya ilang wkwk).


Komentar

  1. Kan jd karya lagi.... wkt itu jd lukisan sekarang jd tulisan. Berkaryalah terus Kala.....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer