Hai, Kala di sini. Sebuah pesan WA yang masuk ke ponselku kemarin bagai petir di siang bolong, membuatku tertegun seketika. Sebuah pesan dari seorang kawan lama yang sudah lama tak berkabar itu membawa berita duka. Pesan itu dikirim oleh ibunya, yang memberitahukan bahwa anaknya telah berpulang. Kita panggil kawan ini Nia. Aku dan dirinya baru mengenal satu sama lain ketika aku masuk SMA negeri 4 tahun lalu. Waktu itu, bayang-bayang pandemi masih menghantui dan kami masih terperangkap di rumah masing-masing. Selama satu tahun setengah aku bersekolah di sekolah negeri, tak sekalipun aku punya kesempatan menggunakan seragam sekolah keluar rumah.
Nama Nia menarik perhatianku setelah absen di semua pelajaran untuk waktu yang lama. Baru dikemudian hari, kuketahui kalau ia menderita penyakit yang memaksanya berbaring di ranjang tanpa bisa mengikuti kelas online di kelas. Aku sudah lupa jelasnya penyakit yang ia derita tapi pada saat itu ada sesuatu yang mendorongku untuk memberikannya semangat lewat no WA yang kutemui di grup kelas. Pada saat itu aku tak berpikir terlalu panjang, motivasiku hanyalah sakit itu nggak enak dan gak ada orang yang bakal menolak ucapan semangat dari orang lain, kan. Yah, kecuali kalau orang itu memang sudah tidak ada motivasi untuk hidup.
Tak kusangka, pesan singkat semangat itu menjadi pembuka dari pesan-pesan yang terkirim selanjutnya bahkan sampai aku datang ke Taiwan. Meski harus kuakui, intensitas pertukaran pesan kami tidak seperti teman karib lainnya. Hubunganku dengannya juga masih renggang jika dibandingkan dengan hubunganku dengan teman-temanku dulu. Bahkan sampai tahun-tahun selanjutnya, pesan kami hanya sekadar mengucapkan selamat hari natal dan lebaran. Aku justru terkaget ketika ia mengirimkan pesan hangat padaku saat hari natal. Tak menduga bahwa aku mendapat pesan dari seseorang sepertinya. Aku justru tersentuh, ia masih mengingat diriku yang bahkan tak pernah bertatapan secara langsung. Jadi di lebaran kemudian hari, aku mengucapkan salam seadanya padanya seraya berbasa-basi singkat. Aku tahu mimpinya yang harus tertunda, aku tahu gebetannya yang ia dengan malu-malu beritahukan padaku, aku juga tahu bagaimana pekerjaannya yang sekarang. Semua informasi itu kukumpulkan sedikit demi sedikit untuk waktu yang lama. Semuanya juga karena sifat cerianya yang tak pernah putus asa meski harus menjalani proses cuci darah yang tak cuma sekali karena tubuhnya mendadak drop.
Sejujurnya, susah bagiku untuk menjaga sebuah hubungan jarak jauh apalagi kalau tak pernah bertemu dengan orangnya secara langsung. Apalagi aku terlalu disibukkan oleh kehidupan nyataku di sini, sampai-sampai beberapa kali aku tak membalas pesannya. Jadi ketika pesan duka itu tiba-tiba datang padaku saat aku menikmati angin sepoi hari Sabtu di siang hari, ada perasaan nyeri di ulu hati yang sulit kulukiskan. Ada penyesalan yang menyusup karena tahu aku tak bisa memutar waktu lagi, aku tak bisa mengirim pesan lagi padanya dan aku tak bisa menyemangati dirinya lagi dan mencoba meyakinkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dan yang membuatku paling menyesal adalah perasaan bahwa aku tak cukup berbuat baik padanya, walau hanya sekadar membalas pesannya segera.
Dalam hati, aku bertanya dengan nada tak terima, ‘Kalau dirinya tahu, ia akan pergi, tak bisakah ia bersuara sedikit? Tak bisakah ia memperingatkanku dulu? Tak bisakah ia mengucapkan kata sampai jumpa dulu padaku?’ Tapi dalam hati, aku pun tahu, siapalah aku sampai ia harus repot-repot mengucapkan kata sampai jumpa itu. Kepergiannya justru menjadi teguran keras padaku. Aku masih akan ada di Taiwan untuk waktu yang cukup lama, tapi jika suatu saat nanti terjadi sesuatu pada keluargaku. Tanpa aba-aba, tanpa sampai jumpa, apakah aku bisa dengan lapang dada merelakannya pergi? Apakah aku bisa menahan diri meski jarak dan waktu membuatku tak bisa langsung berada di sana? Memikirkannya saja sudah membuat dadaku sesak. Aku makin menghargai setiap waktu yang kulewatkan bersama keluargaku, meski hanya sebatas sambungan telepon dan bertukar kabar.
Nia, selamat jalan. Terima kasih untuk pesan hangatmu, terima kasih untuk selalu tidak menyerah dengan keadaan. Sekarang kamu gak akan sakit-sakitan lagi, yang bahagia ya di sana..
Komentar
Posting Komentar