Saksi Bisu Bus Kota
Hai, Kala di sini. Naik transportasi umum sudah menjadi bagian dari rutinitasku di Taiwan. Sebagai anak rantau yang gak punya kendaraan pribadi, kereta dan bus menjadi solusi ketika hendak bepergian. Apalagi dengan jadwal kerjaku yang berada di tempat-tempat yang berbeda. Saking seringnya naik bus yang sama di hari yang sama dan di jam yang sama tiap minggunya, aku sampai mengenali beberapa wajah familiar yang sering naik-turun bus yang sama. Misalnya seorang wanita paruh baya yang selalu turun di perhentian yang sama denganku. Wajahnya masam dan intonasi katanya selalu kasar. Tapi di satu hari, aku melihatnya mempersilahkan seorang pelajar perempuan untuk duduk di sampingnya.
Aku selalu naik bus pada saat jam anak-anak pulang dari sekolah. Busku jadi sering dipenuhi oleh para pelajar SMP yang pulang ke arah yang sama. Sialnya, cuma ada satu bus untuk arah itu. Alhasil, kami jadi sering berdesakkan. Kalau beruntung, aku bisa dapat tempat duduk. Tapi akhir-akhir ini, aku harus mengandalkan kedua kakiku di empat puluh menit perjalanan. Ada supir yang ketika tahu busnya sudah dipenuhi oleh orang-orang yang berdiri, ia akan menolak orang-orang di stasiun selanjutnya. Itu lebih baik. Terakhir kali aku naik bus itu, supir tersebut hanya peduli pada berapa banyak kendaraan di jalanan tanpa mempedulikan muatannya yang sudah melebihi kapasitas. Alhasil, kami semua berdesakkan bagai ikan sarden di dalam kaleng.
And then, there was a funny-looking guy. Aku biasanya tidak akan dengan sengaja memperhatikan wajah para penumpang apalagi dengan jarak yang dekat. Tapi ketika salah satu penumpang ingin turun dan ia berteriak pada Pak Supir supaya membiarkan pintu bus terbuka. Teriakannyalah yang menarik atensiku. Ia mungkin menyadari tatapanku karena kemudian, ia meraih hand rail di sebelahku dan mencoba berbicara denganku. Kemudian terlintas dalam pikiranku. Kalau saja ini adalah sebuah serial drama, latar tempat bus kota dan sebuah pertemuan tak disengaja menjadi sebuah plot cerita romantis, kan.
Tapi ini adalah dunia nyata. Jadi aku mengabaikan sapaannya. Aku membenarkan kembali earphone-ku dan menundukkan kepala semakin dalam sambil menatap layar handphoneku. Ia menjentikkan jemarinya berkali-kali. Aku tak mengacuhkannya. Sometimes, the thing about not talking with strangers is just because you’re not confident enough to talk in your third language. Dan ketika ia akhirnya mendapat tempat duduk, aku menghembuskan napas lega sekaligus menyesalkan ketidakacuhanku. Ia terlihat kesepian bagiku. Terlihat seperti tidak diterima oleh dunia ini. Layaknya jiwa yang kebingungan dan mencari seseorang yang dapat mendengarkan. Tapi kemudian kulihat ia telah berbicara dengan orang di sebelahnya yang sedang sibuk bermain game diponselnya. Mungkin memang bukan aku yang akan menjadi pendengarnya, pikirku seraya turun dari bus.
Tapi tentu saja terkadang aku juga menjadi pendengar dan penonton dari sebuah drama di dalam bus kota. Bus yang sama membawaku pulang ke kota pada malam hari setelah selesai bekerja. Ketika sedang menikmati temaram dan lampu-lampu lalu lintas, si supir kemudian menoleh ke belakang dan berteriak dengan keras. Aku tak mengerti dengan apa yang ia katakan jadi lagi-lagi aku mengabaikannya. Sekarang untuk alasan yang berbeda karena bukan aku yang ia teriaki. Melainkan seorang pemuda berjaket hitam tebal.
Ia mengulang-ulang perkataannya yang sama sampai-sampai ia menepikan busnya untuk berjalan ke arah kursi penumpang. Aku mulai penasaran sambil terus berpura-pura bermain ponsel. Kulihat beberapa penumpang lain juga mulai kebingungan. Ia kemudian menghampiri pemuda itu sembari bertanya apakah ia sudah makan malam atau belum. Sang pemuda terus mengabaikannya sampai kemudian ia balas berteriak dengan kasar, apa maumu? Sang pemuda terus berteriak sampai si supir paruh baya itu kembali ke kursi supirnya. Ia tahu ada pekerjaan yang harus ia selesaikan selain drama keluarganya.
Sang lelaki terus menyalahkan sang supir yang tak bertanggung jawab karena telah memberhentikan busnya tiba-tiba. Tak ada seorang pun dari penumpang yang mengiyakan. Ia yang telah dimakan oleh api kekesalannya sendiri malah melakukan sesuatu yang membuatku ingin menertawakannya. Ia kemudian menghampiri kursi supir dan balik menantang. Siapa namamu, hah? Aku akan melaporkanmu pada atasanmu, katanya dengan kasar. IIa kemudian membaca plat nama supir di dashboard dengan suara keras. Oh, pura-pura membaca. Karena setelah membaca, ia melihat ke arah penumpang yang tersisa seolah mengecek apa respon kami. Pikirku, ia adalah aktor yang buruk karena aku bisa melihat bahwa ia tentu saja tahu siapa nama si Bapak Supir. Yang menurut dugaanku adalah ayahnya sendiri. Si pemuda durhaka kemudian turun dari busnya seraya mencak-mencak.
Bus kota selalu memendam sebuah cerita bisu dari para penumpangnya. Dan roda-roda yang berputar itu seolah berlomba untuk menceritakannya padaku.
You are indeed a talented writer... i enjoyed reading your story... keep the good work ππ
BalasHapusKerenn
BalasHapus