Ajaibnya Bocah Taiwan๐Ÿซ๐Ÿ“š๐Ÿ—ฃ️๐Ÿ‘ฉ‍๐Ÿซ

 

Hai, Kala di sini. Setelah menikmati identitas baruku sebagai seorang full time student, aku masih harus bekerja untuk memenuhi biaya hidupku. Ternyata banyak dari international student di sekolahku yang punya part time job sebagai guru Inggris. Jadi itulah yang kulakukan selama sebulan terakhir. Lalu karena gaji bulan lalu sudah cair, aku mau menceritakan sedikit ajaibnya tingkah laku anak sekolah di Taiwan. Gak ada hubungannya sih sama gaji, cuma ngomong doang wkwk. 

Waktu awal aku masih belum dapat kelas reguler, aku ditempatkan di berbagai tempat les dan bertemu dengan banyak macam murid dan guru Taiwan. Meskipun aku menjadi guru luar di sana, akan selalu ada guru lokal yang membantu menertibkan murid dan membantu menerjemahkan jika bocah-bocah itu tidak mengerti kalimat yang kuucapkan. Tentunya dengan berbagai banyak tempat yang pernah kukunjungi, aku mendapat banyak tingkah laku ajaib dari para bocah itu. 

Pernah suatu waktu aku mengajar tanpa guru pendamping  untuk satu setengah jam dan di tengah pembelajaran, seorang anak bilang kalau sudah waktunya untuk beristirahat. Well, the thing with kids are they are smart enough to deceive you without you realize it. Apalagi kalau melihat wajah polos mereka. Aku pun jadi ragu karena untuk yang satu ini, tidak ada guru Taiwan yang menemaniku di kelas. Jadi setelah dilema antara takut dikomplen tempat lesnya dan dikeroyok para bocah, aku akhirnya memberikan kesempatan mereka untuk istirahat.

Tahu apa yang mereka lakukan? Mereka pergi ke samping, mengambil tas mereka, lalu mengambil buku peer Mandarin. Dan mulai mengerjakan tugas mereka. Hatiku agak perih perih pahit gimana gitu. Perih yang pertama karena aku merasa kasihan sama mereka yang harus les bahasa Inggris sekaligus peer entah pelajaran mana lagi yang harus mereka kerjakan. I mean, they just small kids. Give them a break! 

Perih yang kedua karena aku berkaca dengan diriku sendiri yang mana pernah serajin itu. Apalagi semenjak kuliah dengan kebebasannya untuk bolos. Yang terakhir pahit karena aku berkaca dengan kualitas pendidikan negaraku sendiri. Meskipun membebankan berbagai les tambahan pada anak sejak usia dini, kita semua tahu bahwa kualitas pendidikan di Taiwan lebih baik daripada di Indonesia. Well, membahas masalah les tambahan tentu saja tidak terlepas dengan sumber daya guru yang mumpuni, kurikulum yang baik, dan sumber pendapatan orang tua masing-masing. Lain kali kalau aku sudah lebih dewasa dan lebih terpelajari, aku akan kembali dan membahas topik ini lagi. 

Cerita yang kedua menurutku cukup manis untuk dikenang. Karena dalam waktu setengah jam mengajar, aku tak punya banyak waktu untuk memberi perhatian pada setiap anak ajarku. Aku bahkan tak ingat semua nama para bocah itu. Namun ketika aku selesai mengajar dan sedang menghapus papan tulis seperti yang biasa kulakukan, tiba-tiba ada seorang bocah perempuan menghampiriku. Ia kemudian menyodorkanku sebuah gantungan kunci bergambar Hello Kitty. Well, aku gak suka Hello Kitty tapi aku bahkan gak tau nama anak itu. Aku bahkan gak tau kenapa dia memberikannya padaku. Dan itu cukup membuatku terenyuh untuk menyimpan baik-baik gantungan kunci Hello Kitty itu. 

Well, stiker yang pernah diberikan padaku oleh seorang bocah yang kutemui waktu observasi kelas saja masih tertempel di belakang handphoneku. Iyasih, handphoneku udah kayak handphone bocah asal tempel stiker. But who cares, right? Tapi sekarang aku jadi ngerti kisah janda miskin yang memberi persembahan di bait Allah, sih. Karena kalau kamu memberikan semuanya pada saat kamu berkekurangan, berarti kamu membuktikan bahwa orang itu lebih penting daripadamu. Makanya anak kecil yang bisa membagi barang kesayangannya ke orang lain patut diacungi jempol. Orang dewasa aja sedikit yang bisa berbuat begitu. 

Yang terakhir ini berhasil membuatku tersenyum-senyum sendiri sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ini terjadi di kelas sekolah dasar bawah dimana murid-muridnya baru saja belajar bahasa Inggris. Susahnya mengajar kelas ini adalah, karena aku gak bisa improvisasi materi ajar karena yang mereka tahu cumalah apa yang sudah dipelajari saja. Kelas yang ini juga tak punya guru pendamping orang Taiwan yang bisa membantuku menerjemahkan. Jadi kelas ini kebanyakan berisi repetisi dan bermain game. Masalahnya, para bocah itu suka sekali bermain sendiri ketika aku tak menyuruhnya bermain. Satu waktu ada satu bocah yang bermain dengan kotak pensilnya dan berlarian di dalam kelas.

Aku biasanya tidak peduli, tapi pengalaman mengajarkanku kalau anak-anak harus ditegur juga. Don’t judge me, okay. I’m just a youngster who doesn’t care if you are nosy or not. As long as I could hear the other students' answer, I don’t care what you do. Menegur dengan suara keras juga cape tau. Tapi long story short, akhirnya anak itu duduk terdiam di atas kursinya sembari menundukkan kepalanya. Mungkin karena tak terbiasa mendengar suara tegasku. 

Tapi pada akhirnya aku membiarkannya untuk mengambil bola dan ikut bermain dengan anak-anak lain. Suatu yang dalam ingatanku, tidak pernah kulihat sewaktu aku duduk di bangku sekolah dasar dulu. Guru biasanya hanya memberimu titel ‘anak nakal’ lalu melewatkanmu pada berbagai kesempatan di kelas. Sesuatu harus berubah, kan. Lalu yang membuatku terkejut adalah setelah kelas usai, bocah itu kemudian menghampiriku bersama dengan anak laki-laki lain. Ia kemudian mengucapkan tiga kata dengan keterbatasan bahasa Inggrisnya. ‘Sorry’ dan ‘pencil case’.

Tiga kata ini ia ucapkan berkali-kali karena jujur aku bahkan lupa apa yang baru saja terjadi. See, I don’t care. Apa yang terjadi di kelas, biarlah tetap di kelas. Suasana hatiku setelah kerja tak boleh terpengaruh dengan apa yang terjadi di kelas. Begitupun sebaliknya, suasana hatiku di sekolah tak boleh kubawa di dalam kelas saat mengajar. Begitulah caraku menjaga kewarasan. 

Setelah ngeh, aku kemudian nyengir dan berkata tidak apa-apa. Aku yakin guru Taiwan yang mungkin tak sengaja mendengar dari luar kelas menyuruhnya untuk meminta maaf.  Aku tak tahu kenapa bocah laki-laki lain menemani satu temannya ini untuk minta maaf tapi kalimat selanjutnya berhasil membuatku senyum-senyum sendiri kayak orang gila. Ia hanya berkata, “Sorry Teacher. I like you, Teacher.” 

Aku bahkan kehilangan kata-kataku. Jadi aku mungkin cuma tersenyum lebar sebagai jawaban? Setelah mengucapkan kalimat itu, bocah laki-laki yang sama kemudian mengambil barangnya di atas meja lalu menatapku tanpa mengucapkan sepatah katapun. Aku lupa apa yang kuucapkan padanya sebagai balasan tapi aku yakin dia juga gak ngerti apa yang kuucapkan. Tapi bahkan sampai di luar kelas, di seberang tangga ia menatapku lagi lewat pintu kelas yang masih terbuka. Tanpa berkata-kata. 

So, welcome to how a kid makes you baper lol. Tulisan kali ini cuma menceritakan tingkah laku ajaib para bocah. Nanti ketika pekerjaanku lebih stabil dan aku punya lebih banyak pengalaman, aku akan menceritakan bagaimana part time-ku yang ini mengubah cara pendekatanku terhadap edukasi anak usia dini (sesuatu yang menjadi ketertarikanku) dan bagaimana statusku yang masih pelajar dan gen-Z juga, membuat cara ajarku berbeda dengan guru dari generasi sebelumnya. Until then, Ciao. 


Komentar

  1. Mungkin lain kali, kamu bisa berlutut, tatap matanya, lalu peluk anak itu....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer