Sama-sama, Kan Gak Harus Sama
Hai, Kala di sini. Sesuai janji, aku mau menulis soal bulan terakhir sekolah. Kalau post yang sebelumnya kan tentang studi aku. Nah, yang kali ini, aku mau nulis soal kehidupan sosialku. Sebagai bayangan, selama bersekolah, aku tidak terlalu akrab dengan teman-teman sekelasku. Akrab di sini adalah pergi keluar makan bareng, atau pergi jalan-jalan bareng.
Lagipula, aku bisa dibilang punya first impression yang kurang baik di mata teman-temanku. Jadi, susah bagiku untuk membuka pembicaraan dan bergaul dengan mereka. Apalagi di kelasku dibagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok dari Medan dan kelompok dari Vietnam. Dua-duanya menggunakan bahasa yang tak kumengerti sehingga mempersulit aku untuk mencari topik.
Nggalah, yang di atas tuh cuma sebagian kecil alasan aja. Sebagian besarnya karena aku males untuk 'memaksakan diri' membuka topik dan menjadi 'sama' dengan mereka. Apa yang mereka sukai, film yang mereka tonton, dan style baju mereka. Aku ingat betul, ketika kelas dua, aku benar-benar merasa rendah diri karena merasa tak bisa bergaul dengan teman sekelasku yang cuma lima belas orang. Alhasil aku menjadikan makanan sebagai pelarian diri dan membuatku bertambah subur sepuluh kilo haha. Tapi itu untuk cerita di lain hari.
Sekarang, ketika aku flashback kembali, aku merasa aku berpikir terlalu banyak hanya untuk bisa sama dengan mereka. Bersama-sama, kan tak harus menjadi sama. Berkawan akrab, kan tak harus menyukai hal yang sama semua. Meski agak telat menyadari, aku bersyukur aku masih bisa merasakan kehangatan dan perhatian kecil dari mereka. Apalagi di bulan terakhir aku menyiapkan ujian...
Perhatian tuh gausa yang besar-besar. Sekedar menyalakan lampu belakang kelas ketika aku belajar pada jam tidur aja, udah buat aku terharu banget. Ucapan semangat ketika erangan frustrasi keluar dari mulut aja membuatku merasa ada orang yang mendukungku dari belakang. Pernah suatu kali, saat aku benar-benar frustrasi dan sedang leha-leha di atas kasur main hp, teman sekamarku tiba-tiba datang membawakan sekotak kue cokelat beserta lilin dari layar handphone. Ia bilang, kalau lagi belajar tuh harus banyak makan yang manis-manis, ia juga menyuruhku untuk mengucapkan harapan sembari meniup lilin digital.
Jujur, pada saat itu, aku beneran kaget karena gak menyangka ada orang sepeduli itu sama proses belajarku. Ada orang yang bahkan aku gak minta, tapi Tuhan lembutkan hatinya untuk kasih penyemangat buat aku. Pada saat itu juga, aku yang tadinya sedang malas-malasan langsung bangkit buat mandi lalu belajar. Cerita yang kedua masih tentang teman sekamarku.
Ketika aku kembali dari gudang sehabis belajar malam (aku memang belajar di gudang supaya bisa sendirian dan gak berisik) aku tiba-tiba diberi sebuah gantungan kunci kecil berhiaskan daun clover. Ia bilang, supaya aku bisa beruntung ketika mengerjakan soal ujian nanti. Aku terharu karena ketika mereka sedang pergi jalan-jalan, ia masih mengingatku dan membawakanku oleh-oleh. Padahal ia bukan teman yang seberapa akrab denganku, loh.
Salah satu temanku, memberikan support mental dengan mengomentari gambaranku. Ada juga yang dengan baik hati mendengarkan setiap curhatan dan kekhawatiranku kapanpun pikiran buruk itu hadir. Mereka semua punya caranya sendiri untuk menghiburku. Membiarkanku untuk belajar, hadir ketika aku butuh bahkan tanpa diminta. Pada minggu-minggu terakhir inilah, aku benar-benar merasa aku dihargai oleh mereka. What I'm gonna say, I'm just a Type Three Enneagram anyway). Bahkan pada hari sebelum ujian, beberapa temanku menyemangatiku. Sejujurnya, I'm not used with that lot of attention from them haha. Apalagi aku juga tak bisa menyemangati balik karena cuma aku yang ikut ujian :')
Tapi kalau ditanya, will I miss them someday? I don't know.. cause you only know their worth after letting them go.
Komentar
Posting Komentar