Fighting Binge Eating Disorder๐Ÿคœ๐Ÿ•๐Ÿ”๐Ÿฅ๐ŸŸ

 

Hai, Kala di sini. Sejujurnya, aku gak expect bakal secepet ini nulis soal my experience with binge eating disorder. Tapi, karena orang terdekatku juga lagi mengalami hal yang sama, kupikir baiklah kutulis soal pengalamanku yang ini. Siapa tahu bisa bantu dia dan siapapun yang sedang terjebak di dalamnya. Kisah ini bermula semenjak pandemi yang mengubah semua tatanan sosial dan ekonomi manusia. Kala itu, aku masih memakai rok biru.


Karena pandemi yang mengharuskan kita untuk di rumah terus, alhasil mobilitasku pun menjadi sedikit. Kerjaanku waktu itu ya, kalo ngga jalan ke kamar mandi ya ke ruang makan. Apalagi pada saat itu, adikku lagi gencar-gencarnya buat kue. Alhasil, berat badanku naik 10 kilogram. Pada saat itu, aku bahkan tak merasa gendut atau semacamnya, tapi angka di timbangan benar-benar membuatku bertekad menurunkan berat badan. 


Jadi, aku diet ekstrim. Aku sama sekali tak menyentuh tepung pada bulan pertama. Jangankan mie yang berasal dari tepung, sekedar baso dan risoles pun nggak. Waktu itu, perdebatan mulut antara aku dan kedua orang tuaku ya, cuma masalah makanan aja. Orang tuaku yang meyakinkanku kalau aku nggak gendut dan aku yang bersikeras menolak semua jenis tepung-tepungan. 


Pada bulan-bulan pertama, aku juga mengikuti program olahraga dari Youtube. Singkat cerita, karena diet ekstrim ini (akan aku jelaskan lebih rinci kalau aku ingat nulisnya), pada saat aku stress, aku bisa makan sampai perutku rasanya mau meledak dan kesusahan napas. Kalau perut ibarat balon, maka perutku adalah balon bulat yang penuh gas sampai warna balonnya berubah menjadi gurat-gurat putih. 


Fast forward ke awal kedatanganku ke Taiwan. Karena masih beradaptasi dan keuangan yang masih seret, aku pun menjalani diet ekstrim dalam bentuk lain. Mungkin kali ini karena dibarengi tekanan, aku berhasil turun banyak. Waktu itu adalah berat badan teringanku semenjak dari masa pubertas. Lalu datanglah badai yang kedua. 


Setelah diet ekstrim yang tidak disengaja itu ditambah dengan tekanan dari pekerjaan. Maklum, bocah ingusan disuruh kerja yaa cuma bisa stress sendiri. Akhirnya, aku punya habit makan gula pada waktu malam setelah selesai kerja. Aku juga memaksa mataku untuk tetap membuka pada malam hari supaya gulanya tidak langsung menjadi lemak. Loh, kata siapa? Entahlah, aku juga tak tahu dapat mindset dari mana. 


Alhasil, jam tidurku berantakan, kerjaku menjadi asal-asalan, aku menjadi rendah diri dan berat badanku naik. Seperti lingkaran setan yang terus memutar, aku tak tahu harus berhenti dari mana. Aku juga tak tahu harus memulai dari mana. Tak hanya di pekerjaan, waktu sekolah pun aku menderita. Perasaan rendah diri itu berubah menjadi negative thinking yang percaya kalau aku tak layak berbaur bersama teman sekelasku. 


Aku bergumul berat. Aku ceritakan apa yang kurasakan pada orang tuaku. Aku tak menyalahkan mereka tidak bisa membantu banyak. Masalah disorder ini, orang expert pun butuh waktu untuk menanganinya. Jadi, sebagai bentuk dukungan orang tuaku membayar biaya psikolog online. Aku dapat pencerahan tapi tak banyak membantu. 


Kondisiku perlahan-lahan membaik pada saat kelas dua semester dua. Aku selamanya berterima kasih pada adik-adik kelasku yang berani menghampiriku untuk berkomentar soal gambaranku. Karena mereka, aku tahu, bukan aku punya kepribadian yang salah. Tapi namanya gak cocok, yah gak bisa dipaksakan. Di luar lingkup teman-teman sekelasku, aku mendapat sebuah penerimaan apa adanya dari adik-adik kelasku. 


Secara tak langsung, mereka membantuku meningkatkan kepercayaan diriku. Untuk menjadi aku apa adanya. Tanpa kusadari, hubungan aku dan teman-teman sekelasku membaik. Mungkin, sebenarnya tak ada yang menjadi lebih baik. Tapi pikiran negative thinking yang merasa diri ini tidak cukup, perlahan menghilang. Pembawaanku menjadi ringan dan aku menjadi lebih sering tertawa. 


Aku sekarang berpikir, mau seberapa berbedanya kamu dari teman-temanmu, kalau kamu percaya diri, mereka juga bakal perlahan menerimamu. Tapi, kalau kamu sendiri gak percaya diri dengan dirimu sendiri, siapa orang yang mau berteman dengan orang yang dengan dirinya sendiri aja gak percaya. 


Aku sekarang masih suka makan pada waktu yang tidak seharusnya aku makan. Aku bisa terbangun di jam dua subuh, turun dari kasur, lalu makan mangga muda. Aku masih merasa malu kalau makan basreng pedas dengan kecepatan tinggi kalau ada orang lain yang lewat di depanku. Aku masih berjuang untuk merasa gak apa-apa pada saat makan es krim sambil jalan pulang sehabis makan roti. Tapi aku lebih baik dari aku yang di tahun lalu. 


Aku berusaha untuk menerimanya kalau itulah aku. Aku tahu itu kebiasaan buruk, aku mau berubah tapi yang sudah terjadi, biarlah terjadi. Aku gak membebani diriku untuk langsung berubah. Tapi aku menghargai setiap kemajuan kecil yang kubuat. Aku masih berjuang dengan body image yang internet bentuk khususnya untuk remaja wanita. Dan aku mengalihkan perhatianku dari makanan dan berat badan ke hobi yang memang aku suka dan nikmati.


Olahraga yang dulu kulakoni untuk menurunkan berat badan berubah menjadi sebuah kebiasaan yang tubuhku memang perlukan. Aku tak memaksakan diri lagi untuk melakukan burpees atau squat yang aku emang gak suka, tapi aku mencari cabang olahraga yang memang aku nikmati. Aku mencoba untuk mendengarkan tubuhku lebih sering meski kerja di salon bukan berarti bisa makan tepat waktu. Tapi, nggak apa-apa. Untuk saat ini, aku puas, aku masih berjuang, dan itu yang terpenting. 

Komentar

Postingan Populer