Nasionalisme di Mata Anak Rantau

 

Hai, Kala di sini. Menulis untukmu dari waiting room Bandara CGK hendak menuju ke Taipei. Setelah lebih dari dua setengah tahun di Taiwan, pada awal bulan Maret aku kembali ke Indonesia. Dan, rasanya aku lebih kena culture shock di negara sendiri daripada waktu pergi ke negara orang. Mungkin, karena pada saat itu semuanya menjadi pengalaman baru bagiku yang punya titel anak rumahan. Namun begitu kembali ke Indonesia, aku jadi punya sesuatu untuk dibandingkan. Makanya menyadari perbedaan yang dulu bisa kemana-mana sendiri sekarang harus balik lagi dianter kemana-mana, membuatku menjadi tidak terbiasa di minggu pertama. 


Aku datang tanpa memberitahu orang rumah. Pertemuan pertama kami justru terjadi di rumah sakit ketika nenekku baru saja dioperasi. Orang mungkin akan bilang aku datang di waktu yang salah. Namun bagiku, waktu yang kelewat pas ini bukan hanya sebuah kebetulan. Orang tuaku sibuk mengurus nenekku sehingga tak bisa mengantarku ke banyak tempat yang jauh. Teman-temanku sibuk dengan kuliahnya masing-masing. Banyak tempat dari to do list-ku justru belum kukunjungi sampai aku kembali lagi ke Taiwan. 


Banyak yang bertanya mengapa aku kembali ke Bandung mengingat kelulusanku tinggal beberapa bulan saja. Aku gak tau, aku bahkan gak tau kenapa aku beli tiket pulang pada saat itu. Namun tiga minggu di Bandung, menjalani rutinitas keseharian, aku jadi menyadari banyak hal. Kalau aku pergi ke tempat-tempat turis yang datang untuk liburan, aku hanya akan melihat indahnya Kota Kembang saja. Namun, dengan kesempatan yang mengharuskan aku banyak stay di rumah, aku jadi punya gambaran keadaanku kalau aku pulang setelah lulus. 


Iya, ujian bulan April nanti menjadi penentu akankah aku balik lagi ke Indonesia setelah lulus atau melanjutkan pendidikan di sana. Selama di Taiwan, kupikir aku akan baik-baik saja jika harus kembali ke Indonesia lalu mengejar ketertinggalanku. Namun setelah menjalani hari-hari di Bandung, aku jadi berpikir ulang mengenai rencanaku.


Bukan berarti Indonesia lebih buruk daripada di Taiwan. Namun setelah berbicara dengan satu orang dan yang lainnya, aku jadi berkesimpulan. Kerja di layanan masyarakat yang bukan milik pemerintah, seperti menjadi pelayan restoran, kerja kuli pabrikan, kerja di salon. Pekerjaan yang aku dan teman-temanku lakoni selama di Taiwan, sama letihnya. Tapi dengan gaji UMR kami, kalau rajin menabung, bisa beli barang branded. Sebagai perbandingan, gaji part time aku selama dua kali delapan jam bisa beli perhiasan Pandora seharga satu jutaan. Dengan nominal yang sama, itu mungkin berarti satu minggu gaji rata-rata orang Bandung dihitung dalam sebulan. 


Layanan publik jelas ada perbedaan juga. Meski dari yang kulihat, Indonesia juga punya banyak kemajuan. Kalau boleh disandingkan, stasiun kereta api Bandung jauh lebih keren daripada stasiun di Taiwan. Aku aja terkagum-kagum sama pembangunannya. Layanan kesehatan tentu ada perbedaan dengan di Taiwan. Tapi aku jadi menyadari, kalau orang Indonesia itu pandai mengantri. Gak akan ngeluh kalau sedek-sedekkan. Aku yang ikut mengantri daftar BPJS untuk nenekku saja menyerah di tengah jalan dan memilih untuk pulang ke rumah akibat budaya mengantri di setiap step. 


Menikmati layanan publik yang disiapkan pemerintah masih membuatku merasa was-was. Sebagai komunitas minoritas yang punya sejarah panjang, aku terbiasa dididik oleh perasaa kecewa kedua orang tuaku. Hal ini membuatku menjadikan suku dan agama sebagai penyebab dari keterlambatan fasilitas publik yang harusnya kami terima. Walau tentu saja, mungkin tak setiap kasus begitu. Dulu aku benci dengan identitas yang mendarah daging di tubuhku ini. Aku lebih suka disebut orang Sunda meski fitur wajahku masih peranakan Cina. 


Tapi justru karena darah yang sejak kecil kuhindari ini, aku bisa menuntut ilmu di Taiwan sekaligus menulis nasib. Namun tetap saja aku ini orang Indonesia. Bukan karena berbagai kemudahan di negara orang, aku bisa begitu saja lupa dengan negara tempat aku lahir dan besar. Kepulanganku justru menjadi jawaban atas pertanyaan yang sebenarnya baru bisa lantang kusuarakan waktu pulang ke Indonesia. 


Aku harus mempertahankan kelegalitasanku di negara orang. Kalau aku punya mimpi untuk Indonesia, maka mental dan skill-ku harus diasah oleh orang luar. Kalau saat ini aku pulang dan memutuskan untuk stay di sini, aku gak punya kekuatan apa-apa untuk menjadi agen perubahan. Mungkin juga, aku akan menjadi terlalu nyaman kembali masuk ke dalam sarangku. Aku akan pulang dan pada akhirnya memutuskan untuk tinggal, tapi nggak sekarang. 


Sebuah perasaan kalau aku menjadi tanggung jawab diriku sendiri di negara orang, membuatku merasakan adrenalin yang sulit kujelaskan. Rasa kebebasan itu bagai berlian yang membawa untung padaku kalau aku tahu cara menggunakannya dan sekaligus petaka kalau aku lalai menjaganya. Aneh juga kalau aku baru sadar akan tanggung jawab besar ini setelah dua setengah tahun hidup merantau. Aku akan cari cara untuk bisa terus stay di luar negeri, gak harus Taiwan. Yang pasti, gak di Indonesia. Bukan karena nasionalisme aku mati digempur fasilitas-fasilitas luar negeri tapi justru supaya aku bisa suatu saat nanti, ada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Anjay.

Komentar

Postingan Populer