Hatimu Sudah Tidak di Sini

 


"Hai Lintang! Baru pulang kerja?" Sapanya tepat ketika aku mengunci pintu toko. Angin malam berhembus pelan. Meski masih musim dingin, angin yang berhembus malam ini tak membuatku menggigil seperti malam-malam sebelumnya. 


Aku menggangguk pelan sebagai jawaban. Ada senyum tipis terlukis di wajahku yang sudah awut-awutan. Aku berjalan tegak melewati bising malam yang dipenuhi dengan orang yang berkerumunan membeli makan malam. Aku mengacuhkan ia yang menyapaku tadi. Namun ia tetap menjaga jarak di belakangku sembari mengikuti langkahku yang gesit melewati orang yang berlalu-lalang. 


"Kau tahu kau tak akan mungkin bisa melakukan apapun yang sedang kau pikirkan sekarang, kan." Komentarnya. Ia mendekatkan paruhnya pada telingaku dan berbisik arogan. Aku tertegun. Langkah kakiku yang tegap, kini terasa lemas tak berdaya. Dengan susah payah, aku tetap mengangkat dagu tinggi dan tetap melangkah meski rasanya kedua kakiku telah melayang. 


Harusnya aku tahu kalau dia memang selalu tahu, kan. Aku menelan ludah. Jika memang ia sudah tahu, baguslah! Aku jadi tak perlu repot-repot memberi tahunya. Terbersit dalam pikiranku untuk meminta bantuannya. Yang langsung kusesali karena tahu, meski bukan musuh, ia tidak akan dengan mudahnya menerima permintaanku. 


"Lalu kenapa? Apa yang kau mau lakukan? Kau mau menahanku di sini?" Tanyaku serak yang dengan susah payah kusembunyikan. Aku pikir ia akan menatapku sinis sebagai jawaban. Namun diluar dugaanku, ia menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Ia menatap seolah aku mahkluk yang layak dikasihani. Atau mungkin memang itulah aku. 


"Di mana Lintang yang dulu? Yang selalu haus ingin tahu dan bermimpi menjadi seseorang di kota ini?" Katanya dengan lembut dan menyiratkan kekecewaan. Aku tahu suatu saat aku akan ditanya oleh makhluk yang sedang berdiri di pundakku ini. Namun semua jenis jawaban yang sudah kusiapkan tak mampu memuaskan diriku. Aku hanya menggeleng pelan sebagai jawaban. Kami berdua terdiam sepanjang perjalanan. Aku melihat orang-orang di sekitarku. Wajah jenis apa yang mereka tampilkan di penghujung hari ini? Apakah masih rekat topeng yang menempel ataukah sudah luntur dikikis kerasnya hidup?


"Kau mau tahu kenapa? Ia memberi jeda pada pertanyaannya lalu melanjutkan kalimatnya. Karena hatimu sudah tidak di sini, Lin."


Air mukaku berubah menjadi sendu. Entah sudah berapa ratusan rencana, andaian maupun realistis, yang kususun di benakku sepanjang hari selama aku bekerja. Semuanya selalu diawal dengan kata 'andai aku tidak ada di sini'. Aku bahkan lelah dengan diriku sendiri yang sudah merasa puas dengan semua andaian itu untuk bangun kembali di keesokan hari menjalani rutinitas yang sama. 


"Apakah kau mau membantuku?" Akhirnya kalimat itu terucap dari bibirku. Ia bangkit dari pundakku lalu terbang rendah di depanku. Jalanan sudah tidak terlalu ramai dan aku semakin dekat dengan kamar sewaanku. Aku memperhatikan lekat sayapnya yang terbang mengiris angin. Ia berputar mengelilingiku seolah sedang berpikir jawaban apa yang pantas aku terima. Jawabannya tak akan pernah demi aku atau pendapatnya seorang. Ia menjawab untuk kepentingan semua orang. 


Jika ya, aku akan bertanya bagaimana ia akan membantuku. Jika tidak, aku akan bertanya apa masa depan yang sudah ia siapkan untukku. Dan jika nanti, aku akan bertanya kapan saat itu akan terjadi. Tapi memang tak mudah untuk membuatnya menjawab. Terkadang diamnya merupakan sebuah jawaban final. Seperti malam ini. 


Menyadari hal tersebut, rasa letih dari tubuhku tiba-tiba berubah menjadi energi panas yang membakar seluruh tubuhku.


Untuk kali ini, untuk kali ini saja, aku tak dapat menerima jawaban diam darinya. 


Tanpa ancang-ancang, kukibaskan lenganku untuk mencengkram lehernya. Sayapnya terkepak-kepak, kedua bola matanya membesar terkaget. Paruhnya mulai menusuk-nusuk lenganku. Lalu perlahan energi panas dari seluruh tubuhku membakar burung yang berada di genggamanku itu. Dalam hitungan detik, ia telah hangus menjadi abu. 


Angin yang berhembus membawa pergi abu dan dalam keheningan malam, aku dapat mendengar sebuah suara khas.


"Aku akan menemanimu malam ini." Kata suara manis itu. Bagai anggur yang memabukkan, ia mengantarkan sebuah peringatan, kau tak akan mungkin bisa melawan kenyataan, Lin. 

(⁠・⁠o⁠・⁠)

Hai, Kala di sini. Start to think that complaining in tiresome so I tried to make a story. Not brave enough to write 'to be continue' but still, tolong nantikan kelanjutannya ;)

Komentar

Postingan Populer