Bujru: Baku bagi Mimpi burukku
Di kota yang dingin ini, Bujru adalah satu-satunya temanku. Aku tak sabar menceritakan apa yang terjadi padaku di ruangan Mama Zala. Namun, aku tetap mengatupkan mulutku rapat-rapat sembari berpikir motivasi di balik kebaikan janggal bosku itu. Aku tak pernah terbiasa mendapat perhatian seperti ini. Lebih baik aku tidak dianggap dan melewati hariku dengan tenang, daripada mendapat perhatian khusus dari orang yang berkepentingan.
Namun berbeda dengan Bujru. Ia tak takut mendapat perhatian dari orang sekitarnya. Ia mengepang rambutnya menjadi kepangan yang banyak, lalu memakai tudung rambut yang terbuat dari kain tipis yang menjuntai sampai ke pinggangnya. Ia memakai lebih dari satu kalung rantai dengan permata ungu besar yang seragam dengan anting dan cincinnya. Dari tubuhnya, tercium bau wewangian eksotis yang ia dapatkan dari Asia Timur sana.
Ia adalah pengecualian dari semua pengecualian. Ia eksentrik dan bangga menjadi dirinya sendiri meski orang lain menganggapnya aneh dan menjadi bulan-bulanan anak jalanan. Sisinya yang seperti itulah yang membuatku terkagum padanya. Jalan pikirannya yang tak tertebak memberikanku banyak perspektif baru pada asumsi pesimisku. Ia adalah yang bagi yin-ku.
Selepas jam kerja, Mama Zala memanggilku lagi. Aku dengan tak rela, harus membiarkan Bujru untuk pulang pergi dahulu. Padahal mulut ini rasanya sudah gatal untuk merajuk. Begitu pintu kamar sewaanku dan Bujru terbuka, asap tebal dari pembakaran langsung menyambut wajahku. Bujru, seperti biasa, sedang membuat ramuan sembari merapal entah bahasa apa. Lampu kamar temaram karena tidak dinyalakan, pencahayaan hanya berasal dari lilin-lilin yang tersebar. Cahayanya memancarkan sinar ungu yang aneh.
Bujru dengan anggunnya terduduk menghadap pintu yang baru saja terbuka. Aku membuka mulutku, siap untuk menumpahkan semua cerita dan analisis-analisis detektifku. Ia menatap mataku dan dengan satu gerakan tangan, ia memintaku untuk diam. Aku menurut dan segera mencari posisi duduk di hadapannya. Kejadian seperti ini sudah bukan yang pertama kali terjadi dan setiap kali mimpi buruk datang padaku, Bujru yang membantuku mengusirnya.
Begitu menyelesaikan rapalannya, ia mempersilakan aku untuk bicara. Seketika kata-kata yang sudah tertampung di tenggorokan itu keluar begitu saja bagai sungai yang mengalir deras. Aku rasa aku tak pernah berbuat hal yang luar biasa sampai harus mendapat perhatian sedemikian rupa, aku juga merasa aku tak punya apa-apa untuk ia ambil sebagai balasan dari kebaikannya itu. Bujru mendengarkanku dengan seksama. Aku terus berbicara, berbicara sampai pada kekhawatiran pada teman-teman kerjaku jika mengetahui kalau aku lebih disayang oleh Mam daripada mereka. Aku yang pendiam ini sudah cukup tanpa harus menerima julidan mereka lagi.
Pada saat itulah, Bujru memutus omonganku. Bujru selalu begitu. Ia akan membiarkanmu bicara dan mendengarkan dengan seksama namun ketika ia merasa apa yang kau bicarakan sudah tidak relevan, itu saatnya ia berbicara dan kau gantian yang harus mendengarnya. Aku merasa kepribadian Bujru adalah kepribadian yang orang-orang sebut kepribadian kuat. Ia sepertinya akan tetap baik-baik saja meski sendirian.
Dengan kalimat singkat, ia patahkan semua hipotesis asalku yang cuma berasal dari asumsiku semata. Apalagi melihat kepribadian Mama Zala yang suka berubah-ubah, mungkin saja kebaikan hatinya ini juga menjadi sebuah pelampiasan baginya.
"Atau kalau begini terus, bukankah bagus? Kamu bisa pakai kebaikannya untuk keuntunganmu sendiri." Cengirnya gembira.
Aku meleos. Menerima kebaikan orang lain tanpa tahu apa yang ia terima dariku membuatku merasa berhutang budi. Dalam diam, kubuka kotak kue yang tadi diberikan oleh Mama Zala padaku sembari memikirkan saran dari Bujru. Mungkin makanan manis dapat membantu menenangkan perasaan kacau tak berlogika.
(・o・)
Bujru kudedikasikan kepada dia yang menjadi teman seperjuanganku. Tanpa dia, tak ada aku yang waras meski setengah gila. Sayang, kamu gak seaneh Bujru haha.
Komentar
Posting Komentar