Atas Nama Kekeluargaan
Ada dua jenis wajah yang tergambar di wajah teman-teman sekerjaku bila dipanggil ke ruangan kerja Mama Zala. Yang pertama, wajah senang karena mendapat pujian manis dari suara renyahnya. Dan yang kedua, wajah masam karena baru menjadi pelampiasan amarah Mama Zala. Memang, stres bekerja di toko ini sebagian besar berasal dari sikap Mama Zala yang gampang berubah-ubah.
Dari intonasi nadanya dan sikapnya yang sudah dingin semenjak pagi, aku dapat menebak jenis wajah mana yang akan terbingkai di wajah bulatku nanti. Namun, karena aku memang berniat untuk tak melanjutkan kerjaku lagi, aku bahkan tak peduli lagi apa yang hendak ia katakan padaku. Jadi dengan sikap tenang, aku melanjutkan kerjaku meski teman-teman sekerjaku melihatku dengan perasaan was-was.
Kuhembuskan napas perlahan sebelum mengetukkan pintu. Setelah kata masuk terdengar, aku perlahan membuka pintu. Berdiri di hadapanku, adalah sesosok naga berwarna pink dengan taring runcing yang mencuat keluar. Ia memoleskan lipstik tebal menor andalannya untuk mengalihkan perhatian mereka yang melihat gigi runcingnya.
"Lintang, Lintang. Sudah berapa lama kamu bekerja dengan saya?" Tanyanya manis dengan raut wajah menyelidik. Aku sulit menebak perasaannya dan aku masih belum tahu apa yang hendak ia sampaikan.
"Kurang lebih setahun, Mam." Jawabku sopan. Ia sendiri yang memaksa karyawannya untuk memanggilnya dengan sebutan Mam. Lebih kekeluargaan katanya. Kekeluargaan lubang hidung api! Ia bisa dengan semena-mena merendahkan kami atas dasar kekeluargaan. Dan jika kami sudah tak kuat lalu hendak mengundurkan diri, ia akan dengan entengnya berkata, 'tak ada keluarga yang memutus tali persaudaraannya.' Dengan begitu, ia telah membungkam kami dengan kalimat saktinya.
"Ah, Lintangku yang manis ternyata baru selama itu bekerja." Senyumnya lebar. Aku bahkan ngeri melihat senyum lebarnya yang bagai Joker itu. Namun bukan itu yang terpenting, kalimatnya membuatku semakin kebingungan. Kuangkat sebelah alisku sebagai jawaban.
"Aihh Lintang.." ia bangkit dari kursinya lalu membuka kedua lengannya lebar-lebar untuk memelukku. Perutnya yang besar, dengan tak tahu malu bergoyang kesana-kemari meski dikelilingi oleh sisik yang tebal. "Mama beruntung punya kamu."
Aku yang tak bisa menolak pelukannya, hanya pasrah ditekan oleh tubuhnya yang keras dan besar itu. Jika ia mengeratkan pelukannya sedikit lagi, kupastikan aku sudah bisa menjadi ikan sarden dalam kalengan yang terbalut dengan saus tomat itu. Bedanya, wajahku penuh dengan bekas lipstik hasil dari terjunan ciuman bertubi-tubi dari bibir Mama Zola. Koreksi, ia bahkan tak punya bibir untuk dipoles lipstik!
Diwajahku terlukiskan sebuah kengerian yang sangat sampai-sampai warnanya berubah menjadi pias. Tapi Mama Zala tentu saja tak bisa membaca wajah. Kilat manik matanya hanya milik segepok uang yang disodorkan padanya saja. Jika sudah begitu, ia baru bisa memakai akal sehatnya dengan benar.
Sisa pertemuan itu, dihabiskan oleh pujian bertubi-tubi yang jatuh dengan bebas pada wajahku yang kebas. Aku bahkan tak mau mendengar lagi kata-kata yang ia sampaikan. Karena baginya, itu sah-sah saja untuk berkata ya hari ini, lalu tidak pada keesokan harinya. Begitu ia kehabisan air ludahnya sendiri, ia dengan ayunan lengannya mempersilahkan aku untuk pergi. Dengan lunglai, kulangkahkan kaki keluar dari kantornya. Begitu pintu tertutup, aku disambut oleh manik-manik mata penasaran.
Semuanya menghujaniku dengan pertanyaan-pertanyaan yang seolah-olah mengkhawatirkanku. Aku mengatupkan bibirku rapat-rapat. Pengalaman mengajarkanku untuk tidak membuka mulut pada mereka yang tak benar-benar peduli padaku dan cuma mementingkan diri sendiri. Mataku menelusuri wajah-wajah mau tahu mereka untuk kemudian mendarat pada sepasang manik mata cokelat milik Bujru.
(・o・)
Siapakah Bujru? Dan mengapa Mama Zala tiba-tiba berbuat dengan sangat baik pada Lintang. Baca kelanjutannya nanti kalau aku niat nulis lagi :))
Komentar
Posting Komentar