Sebuah Usaha untuk Mengejar Cita
“Pokonya aku gak akan mau kuliah kesenian. Aku paling gak terima karyaku yang udah aku buat sepenuh hati terus dikasih nilai seenaknya sama dosen. Menurutku, seni itu gak bisa dibulatkan dalam suatu angka doang.”
ucapku yakin empat tahun lalu ketika ada orang yang menawarkanku untuk masuk jurusan seni. Hai, Kala disini, berada di negara orang dan sedang berjuang untuk bisa masuk ke jurusan seni meskipun ada rintangan bahasa yang terbatas dan uang yang segitunya doang. Maka di postingan kali ini, akan kujabarkan kenapa aku (dan mungkin kamu) harus mengejar kesenian.
Perubahan pola pikir ini sebenarnya mulai dipupuk ketika aku sekolah kecantikan di Taiwan. Banyak materi pelajaran yang mengharuskan kami untuk menggambar, khususnya bagian wajah menggunakan eye shadow. Tentunya pelajaran seperti ini sebenarnya menguntungkan bagiku yang memang punya dasar menggambar dan pastinya, di pelajaran inilah kami bisa santuy menuangkan kreativitas sambil kongkow bareng yang lain. Namun, di mana ada pelajaran maka di situ ada angka yang menjadi patokan estetika. Sebenarnya sudah mulai dari SMP, aku meninggalkan ambisi dalam mengejar nilai. Bagiku nilai hanyalah sebuah angka yang fungsinya untuk mendapatkan beasiswa, tak lebih dan tak kurang. Pokoknya iri dengki cuma gegara nilai adalah hal yang nggak banget, deh.
Tapi untuk beberapa pelajaran, seperti kesenian yang memang aku peduli baik dari usaha maupun feedback gurunya, terkadang aku masih suka merasa sakit hati ketika nilai tersebut tidak sesuai dengan ekspetasiku. I mean, I used all of my effort and because it’s not your taste, you give me a lower grade than the others? Aku merasa gak adil dan aku kembali lagi pada pola pikir awal. Tapi, kamu tau kan, sesuatu yang dilakukan terus-menerus, lama-kelamaan akan menjadi biasa juga. Karena di SMK ini banyak pelajaran yang mengharuskan menggambar, aku jadi terbiasa dengan nilai yang diberikan oleh guru-guruku. Pola pikirku berubah dari yang ‘seni tak bisa dinilai’ menjadi ‘aku sudah melakukan yang terbaik, aku puas dengan hasilnya sampai-sampai aku tak peduli berapa nilai yang kau beri’.
Perubahan pola pikir ini tak kusadari sampai baru-baru ini. Terkadang ketika melihat hasil karya teman yang lain, aku masih merasa terperangah. Tapi karena aku tahu aku sudah mengusahakan yang terbaik, rasa kagum itu tak berubah menjadi rasa iri dan rendah diri namun menjadi bahan contekan untuk karyaku selanjutnya. Aku menjadi lebih ringan ketika berkarya karena tak ada beban untuk menjadi yang terbaik. Dan ketika aku sadar akan perubahan pola pikir ini, tanpa sadar aku telah menghabiskan sebagian besar waktuku untuk berkarya. Singkat kata, aku telah jatuh cinta dibuatnya. Aku hanya menyayangkan betapa sedikit waktu yang kupunya untuk berkarya, apalagi kalau aku bekerja.
Maka, pikirku, aku mau masuk jurusan seni supaya aku bisa punya waktu lebih banyak untuk berkarya. Aku tak peduli lagi dengan saingan yang tentunya akan menjadi lebih kompetitif atau penilaian dosen nantinya. Aku cuma ingin, aku bisa menuangkan diriku menjadi sebuah karya tersendiri. Apakah aku ingin menjadikan ini sebagai profesiku di masa depan? Aku masih belum tahu. Aku masih tak ingin mengandalkan kreativitasku untuk menjadi sumber mata pencaharian. Namun, itu tidak menjadi kekhawatiran, aku tahu suatu hari nanti mungkin saja aku bisa berubah pikiran lagi. Kalaupun tidak juga tidak apa-apa, aku tidak akan menyesali keputusanku mengambil sekolah seni karena aku tahu, aku telah memilih sesuatu yang aku suka. Bukan karena bayangan kemapanan dan kemudahan di masa depan. Tapi karena aku telah mendengarkan suara hatiku.
🥰🥰🥰
BalasHapus