Gak Usah Sok Paling Kenal


 

‼️Trigger Warning: penuh dengan julidan!!!

Hai, Kala di sini. Di pagi yang mendung ini, aku dan teman sekelasku yang lulus sertifikat rambut disisihkan berfoto bareng kepala sekolah. Alhasil, kami yang seharusnya memakai baju olahraga ini jadi harus memakai seragam. Dan jujur saja, we're not a favorite wearing that. Tapi postingan ini bukan tentang roasting-an seragam sekolah, tapi tentang wali kelasku. Sebenarnya, aku dan wali kelasku ini punya sejarah yang lumayan panjang. Aku bakal kasih tau garis merahnya aja karena bakal terlalu panjang dan menguras emosi kalau diceritain satu-satu.


Aku juga lupa aku pernah mention dia di blog sebelumnya atau ngga, tapi intinya dia itu guru yang jadi wali kelasku semenjak kelas dua. Gurunya muda, cantik, dan energetik dan aku jika tak berurusan dengannya tak akan mau repot-repot membuka mulut. Baru kusadari, bahwa aku di Taiwan banyak menghindari orang yang berbicara dengan cepat. Apalagi kalau bukan karena aku susah menangkap apa yang orang itu bicarakan. Aku nggak keberatan kok, mendengarkan lebih cermat. Tapi, orang yang berkata kalimat yang sama terus-menerus tentu akan keberatan, kan.

Semuanya ini bermula di suatu siang di mana ia memanggilku untuk bicara dari mata ke mata. Ia mengkhawatirkan aku yang kelihatannya kesepian dan tak punya banyak teman. Jujur pada saat itu, aku merasa rendah diri dan tak tahu apakah memang kepribadianku ini yang aneh atau aku berada di lingkungan yang salah. Lalu kemudian, di waktu yang berbeda, ia memanggilku lagi. Kali ini dengan keberatan bahwa aku mengerjakan segala sesuatu dengan asal-asalan.

Pertama kali aku mendengarnya, aku merasa terhibur. Karena dulu aku pernah tersiksa dengan standarku yang mau semuanya sempurna tanpa cacat. Andai, andai ia tahu aku yang dulu, ia pasti tak akan berkata seperti itu. Tapi, yah, mungkin itu cara dia untuk menyampaikan rasa kepeduliannya padaku. Tentu aku dengan senang hati menerimanya meski dengan rasa kecewa.

Bukannya kecewa karena tak mau menerima teguran, namun lebih kepada perasaan bahwa ia tak benar-benar mengenal aku. Dan seenak jidatnya memberitahukan padaku di bagian mana aku bersalah, tanpa mau mendengar terlebih dahulu alasanku. Kalau sudah begitu, kepeduliannya bagaikan angin lalu yang sok. Aku merasa disalah pahami. Dan bodohnya, aku mengganggap angin lalu itu bak badai yang memporak-porandakan seluruh hatiku.

Orang yang sudah rendah diri lalu diberitahukan di bagian mana ia bersalah justru bagai menabur garam di atas luka. Entah sudah berapa ribuan kata afirmasi yang kulontarkan pada diriku sendiri sampai bisa memaki dirinya ketika ia bersifat seenaknya. Ia yang mau dianggap kakak perempuan yang selalu ada namun tak bisa dilawan, segala urusan harus melalui dirinya namun jika dimintai bantuan, akan dengan sengaja bersikap menyebalkan.

Ia yang terkadang marah karena sentuhan maupun kata sepercik namun menangis melihat keadaan kelas yang ia rasa, ia tak mampu mengaturnya. Ingin dianggap teman namun tak pernah benar-benar mendengarkan pendapat kami. Lalu pada akhirnya cuma bisa menyindir kami yang tak mampu melakukan sesuatu sesuai standarnya.

Di hadapan kami, ia sering mengeluh tentang kolega kerjanya yang pernah menjadi gurunya dulu. Ia berkata dengan nada sebal seolah ingin mendapatkan hati kami yang terkadang kesal pada beberapa guru. Namun jujur saja, karena didikan ayahnya yang merupakan guru senior, aku merasa tindakannya tidak sopan. Aku merasa, ia tak seharusnya menunjukkan kekesalan pribadinya pada senior maupun atasan di hadapan kami semua. Tentu aku akan memaklumi kalau pada akhir ocehannya, ia mengingatkan pada kami untuk tetap menghargai mereka yang lebih tua dan jelas-jelas telah banyak makan asam garam daripada dirinya ini. Dengan begitu, curhatannya ini tak hanya memutus tembok besar antara guru dan murid namun juga menjalankan fungsiny sebagai guru.

Pagi ini, sikapnya yang seperti itu pecah. Di hadapan kami semua, ia diteriaki oleh oleh direktur karena sebuah kesalah pahaman. Meski kesalahan bukan ada padanya, namun caranya ia memandang dan menjawab direktur persis dengan ekspresiku ketika aku melawan bapakku sewaktu kecil dulu. Mungkin budaya Asia yang mengharuskan kami, yang junior untuk menghormati yang senior terlepas dari siapa yang salah.
Jika tidak ada kata bawahan dan atasan, dalam situasi ini, aku merasa yang bersalah adalah sang direktur. Sudah bukan sepantasnya untuk meneriaki bawahan di hadapan para murid, kan. Apalagi posisinya, jika menelisik dari situasinya, sang direkturlah yang salah paham dengan guruku. Namun, tetap saja cara guruku bersikap, jika sesuai dengan budaya Asia, ia juga bersalah. Caranya menjawab ketika ditegur, pandangan matanya yang kesal dan seakan tak terima akhirnya memberiku kesimpulan dari mana curhatan kekesalan itu berasal.

Wong, dia aja gak menghormati atasannya. Pantas saja atasan dan mantan gurunya menyampaikan keberatan padanya. Jadi, guru yang seakan paling mengenalku dan memberiku banyak keberatan itu ternyata cuma seorang anak muda yang sama denganku. Itu saja. 

Komentar

Postingan Populer