Orang Indo Suka Seblak, Orang Taiwan Suka Blak-blakan
Hai, Kala di sini. Hari ini aku pergi menemui temanku di Taichung. Akan kuceritakan sedikit pengalamanku menghabiskan setengah hari bersama temanku yang orang Taiwan. Bukan mengenerisasi semua orang Taiwan begitu, tapi sedikit banyaknya tentu ia mendapat pengaruh dari budaya di tempat tinggalnya, kan. Kebiasaan kami sebenarnya bisa dibilang berbeda jauh. Kami berdua datang dari kondisi ekonomi dan ajaran keluarga yang berbeda.
Namun perbedaan inilah yang membuka mataku dan memberikanku pandangan dan sikap baru. Pertama, ia sering menghabiskan waktunya menjelajahi mall. Sedangkan aku sendiri sedari kecil tak memiliki kebiasaan tersebut. Aku kurang suka pergi ke mal yang penuh dengan hawa konsumerisme yang bergandengan erat dengan sistem kapitalisme #ea
In other words, ngapain pergi ke tempat yang tau gak akan kebeli barangnya. Tapi baiklah, demi membeli kado untuk temanku ini, kami akhirnya pergi ke pusat perbelanjaan terdekat. Sebelumnya aku memang sudah tau bagaimana gaya hidupnya hingga akhirnya memutuskan untuk dia sendiri yang memilih hadiah ulang tahunnya. Aku juga sudah membuat perkiraan budjet dan meskipun dikomentari terlalu banyak oleh teman Indoku, aku pikir budjetku sesedikitnya cukup memenuhi lifestyle-nya.
Keputusanku memilih budget kado ini juga menarik untuk diceritakan. Tapi mungkin di lain hari aku mengunggahnya. Singkat kata, aku juga membelikannya kue lapis Indonesia supaya ia bisa mencobanya. Ketika mencobanya, aku menemukan reaksi yang unik darinya. Meski tak secara gamblang bilang kuenya tidak enak, ia terus bilang bahwa dia tak akan bisa menghabiskannya. Lalu bilang, keluarganya suka makan yang asin-asin. Ia secara langsung mendorongku membawa pulang kembali kue itu. Ditambahi kata-kata, ngapain menghabiskan uang yang sudah didapat untuk membelikannya kue. Yah memang sih, aku akui kue lapis yang kubeli itu jauh berbeda dengan kue lapis yang biasa kumakan di Indonesia.
Jadi yah, lucu aja. Aku sudah membelikannya kue, yang ia makan cuma segigit, itupun menyuruhku makan duluan seolah ada racun di dalamnya (becanda), lalu membawanya pulang kembali. Memang sih, di awal aku sudah bilang, bahwa aku tak tahu rasa kuenya bagaimana, karena tak pernah mencoba merk tersebut. Aku juga sudah mengantisipasi kalo rasanya tak seenak yang langsung dibuat di dapur Indonesia. Tapi, kalau orang Indonesia yang menerima, se-gak cocok apapun sama lidah, pasti akan dibawa pulang untuk "menghargai orang yang telah memberi", kan.
Inilah bedanya orang Taiwan. Mereka gak akan bermanis-manis dengan orang diajak ngobrol. Kalau mereka tak suka, mereka bilang tak suka. Gak akan pura-pura berterima kasih untuk kemudian merutuki orang yang memberi. Di salon, hal ini umum terjadi karena statusnya aku di bawah mereka yang merupakan haistylist dan bos. Hatiku sudah kebal dan aku juga lebih memilih bawa pulang kue itu untuk dibagikan ke orang toko daripada diberi kepadanya untuk kemudian dijadikan pajangan sampai menjamur.
Untuk yang selanjutnya terjadi, aku merasa hal tersebut hanyalah kebiasaan orang tertentu dan tak akan menganggapnya sebagai pola pikir orang Taiwan. Sebelumnya, aku membebaskannya untuk membawaku pergi bermain. Yang tentu saja, ia responi dengan mengajakku jalan ke mal. Meskipun aku kurang suka pergi ke mal, ketika pergi bersama orang lain, aku membiasakan diri untuk lebih terfokus dengan orang tersebut daripada tujuan destinasi wisatanya. Karena aku sadar betul, kesukaanku dengan kesukaan kebanyakan orang berbeda jauh.
Dan lagi, pikirku, jika aku mengejar destinasi wisata, aku akan pergi sendiri supaya lebih puas menjelajahinya. Jadi mau semembosankan apapun tempatnya, mau seburuk apapun cuacanya, aku akan sangat menikmati waktu kita bersama. Kalau tidak, ngapain aku jauh-jauh pergi ke Taichung di waktu liburku yang sesak. Tapi ada hal yang menurutku lucu untuk diceritakan dan diingat untuk diantisipasi.
Jadi, kan aku memberikannya gambaran tempat-tempat yang ingin kukunjungi (yang kucomot asal di Google tanpa lihat jarak dari stasiun). Meski aku membebaskannya untuk membawaku pergi bermain, setidaknya aku memberikannya gambaran tempat tertentu. Aku tekankan bahwa kita pergi ke tempat yang terdekat saja. Tapi ia memutuskan untuk jalan-jalan di mal, bahkan setelah kami selesai membeli kado untuknya. Padahal pada saat itu, kami sudah memutuskan akan pergi kemana dan sudah dicek juga di Google bahwa destinasi kami akan memakan waktu yang lama.
Aku juga tak memaksanya untuk lebih cepat. Intinya, aku tahu statusku sebagai pendatang yang tak tahu apa-apa dan menyerahkan seluruh keputusan kepadanya sebagai orang asli. Pada saat kami naik bus pergi ke destinasi, waktu sudah menunjukkan pukul dua. Sesungguhnya aku juga tak benar-benar ingin pergi ke destinasi tersebut, kok. Aku bahkan tak peduli jika kami pergi atau tidak ke tempat itu.
Yang membuatku lucu adalah, di perjalanan menuju destinasi tersebut, kami 'bersepakat' untuk pergi ke stasiun terdekat yang berbeda dengan stasiun tadi pagi. Ia menekankan bahwa stasiun tersebut turun dari bus masih harus jalan lagi, aku bilang tak masalah. Lalu ia juga bilang, bahwa di stasiun tersebut keretanya akan lebih sedikit, aku bilang tak masalah karena pada akhirnya jika naik lewat stasiun itu, aku bisa pulang lebih awal ke asrama. Ia diam saja. Aku pikir ia setuju.
Lalu kemudian, dikarenakan tempat destinasi yang masih jauh dan waktu yang mepet, kami memutuskan untuk turun saja lalu langsung pergi ke stasiun. Kau tahu, ia membawaku kemana? Ke stasiun yang tadi pagi, yang jaraknya dua kali lebih jauh daripada stasiun terdekat. Aku berpikir, mungkin saja ia malas jalan kaki pergi ke stasiun terdekat atau mungkin ia mau jalan-jalan dulu selepas mengantarku ke stasiun tadi pagi yang memang terletak di pusat kota. Dan benar saja, ia memang ingin membeli barang dulu di pusat kota.
Aku tak mengerti apa alasannya. Tapi ia sempat ngomel karena tempat yang ingin kukunjungi itu jauh dan sedikit kendaraan umum. Dalam hati, aku mengingatkannya bahwa ia sendiri yang memilih destinasi tersebut dari sekian banyak destinasi yang kutawarkan. Ia sendiri yang berlama-lama menghabiskan waktu di mal. Dan tak sekalipun, tak sekalipun ia bertanya apakah aku suka jalan-jalan ke mal atau tidak. Mungkin sikapku terlalu kalem untuk dinilai tidak suka, kali ya.
Dalam pikiranku, aku berargumen bahwa di bawah teriknya matahari yang seharusnya mengomel adalah aku. Sifat egoisku bilang, bahwa ia yang seharusnya membawaku pergi bermain, bukan malah sebaliknya menemaninya berbelanja. Tapi baiklah, sebagai orang beranjak dewasa yang punya akal sehat, tak akan kubiarkan pikiran-pikiran semacam ini mengganggu suasana hati dan keadaan. Pengalamanku ini memberikanku pelajaran untuk tak asal memilih destinasi. Juga kelapangan hati untuk menerima perbedaan sifat dan pendapat saat jalan-jalan dengan orang lain.
Kalau kata orang, jangan sampai mengulangi kesalahan sampai ketiga kali, kan. Di kesempatan kedua ini bertemu dengannya, aku akan lebih mempertimbangkan dan berpikir ulang ketika pergi menemuinya lagi nanti di kesempatan ketiga. Apa orang ini layak untuk kuhabiskan waktu dan uang untuk menemani hobinya berbelanja?
N. B ia sebenarnya orang yang sopan yang bahkan ketika mengomel pun tidak mengucapkan kata kasar yang sering kali kudengar di salon. Ia bahkan menjelaskan padaku secara detail cara naik kereta dan bahkan menganggapku hebat bisa sampai di peron yang tepat (yang kuanggap sebagai pujian alih-alih hinaan karena terlalu menganggap remeh). Ia juga meminta maaf padaku atas sikapnya tadj dan menyayangkan karena tak bisa membawaku pergi bermain.
Akhir kata, pertimbanganku di masa depan untuk pergi menemuinya lagi bukan karena sikapnya atau ketidak mampuannya mengajakku pergi ke tempat yang aku suka. Aku cuma merasa, mungkin memang kesamaan kami tak sebanyak itu. Dan jika ia sendiri tak bisa berinisiatif untuk menoleransi tempat yang suka kukunjungi, untuk apa aku terus memaksakan diri untuk menyesuaikan dirinya dengan gaya hidupnya?
Komentar
Posting Komentar