"Jadi Kamu Suka Cewe Apa Cowo?"

 

Hai, Kala di sini. Dalam perjalananku kembali menuju Kaohsiung, aku memikirkan kembali apa- apa saja yang terjadi selama tiga bulan ini. Ada satu topik yang ingin kubahas, namun masih merasa ragu karena sadar betul bahwa topik yang diangkat masih menjadi isu sensitif di Indonesia. Yah, bukan berarti yang baca blog ini banyak, sih. Tapi apa-apa yang dimuat online bisa menjadi boomerang di masa depan, kan. Tapi singkat kata, setelah berbagai pertimbangan, aku tumpahkan juga buah pikiran dan perasaanku dalam tulisan ini. 

Semenjak aku kerja di salon, aku semakin peka dengan bagaimana potongan rambut bisa mempengaruhi cara orang memandangku. Awal aku kerja di salon, aku datang dengan rambut nanggung dari pendek cepak memanjang sampai ke leher. Nanggung, sumpah. Pendek bukan, panjang apalagi. Akhirnya bosku potong rambutku kembali, lebih pendek daripada waktu aku datang ke Taiwan dan sebagai sentuhan terakhir, ia men- curly rambutku. Alhasil rambutku yang selurus penggaris menjadi ikal macam sarang burung. 
Aku tampan. Kata-kata itu mulai banyak terdengar di telingaku. Atasanku sampai komen,
"Kalo gini, kamu balik sekolah pasti dapet cewe, deh."
Betul sekali. Ia mengira aku penyuka sesama jenis. Dan entah mengapa, pada saat itu aku tak langsung memperbaikinya. Aku merasa, seksualitasku bukan hal penting yang harus orang tahu? Maksudku, iya dan tidak, lurus atau belok tak ada pengaruhnya bagiku. Pola pikirku yang seperti ini sebenarnya ada landasannya. Tapi aku tak mau secara blak-blakan menuliskannya di sini. Biarlah kamu menebaknya sendiri.

Potonganku yang seperti laki-laki itu bahkan sampai ditanyai oleh salah satu hairstylist di salon. Ia bertanya apakah aku itu laki-laki atau perempuan. Memang pada waktu itu, karena ekonomiku sedang mepet, aku memang turun berat badan lumayan drastis sampai-sampai baju yang pas di tubuhku mulai kebesaran. Intinya, dadaku gak keliatan :)

Jujur, cablakan semacam ini tak pernah kujumpai selama aku hidup besar di Indonesia. Di sekolah, teman-temanku terkejut dengan potongan rambutku. Namun, tak ada yang benar- benar mempertanyakan seksualitasku. Pertanyaan itu justru muncul dari orang Taiwan sendiri. Mungkin karena di Indonesia, jika seorang perempuan berpakaian layaknya laki-laki dan berambut pendek, hanya akan disebut tomboy. Tak pernah sampai ke sebutan lesbian. Tapi aku merasa, makin ke sini makin banyak orang Indonesia yang mempertanyakan seksualitas orang lain. 

Apakah aku menikmati kesangsian ini? Dengan setiap kejujuran yang aku punya, iya. Tumbuh besar sebagai anak gembul berkaca mata, aku tak pernah benar- benar merasakan tubuhku sendiri. Pujian cantik dari bibir kerabatku bagai gas dalam balon untuk membesarkan hatiku. Prett..

Namun dalam topeng tampan dengan sentuhan feminisme, untuk pertama kalinya, ada yang benar-benar memperhatikan fisikku yang kuakui ada benarnya. I'm not in denial about it. I look so cool, so good in it. For the first time in my life, I feel me. And I accepted their dazed. But deep down, I know I'm wrong. It's not good to make people misunderstanding about you. Even though I always say I don't care. 

Ingat ketika aku bilang aku benci disebut cantik? Aku bukanlah anak yang bisa memenuhi standar cantik. Dan diriku sendiri tak merasa aku cantik. Jadi aku memutuskan jika aku bukan cantik, setidaknya, sedikitnya aku bisa disebut dengan kata adjektif lain. Apapun itu, selain kata cantik. 

Aku terlalu lelah dengan ekspetasi yang dibuat oleh sistem sosial, atau mungkin oleh diriku sendiri. Meski begitu, aku pikir aku cukup puas dengan semua perhatian, pertanyaan, dan kebingungan orang yang kudapatkan selama rambutku pendek. Atas dorongan teman-teman, dalam rangka mengembalikanku di jalan yang benar, aku memutuskan untuk memanjangkan rambutku. 

Dan Tuhan tahu seberapa berat tiap inci yang tumbuh. Pada saat ini aku berpikir, berambut panjang berarti memulai kembali usaha untuk memenuhi ekspetasi orang lain. Aku benci menjadi wanita dengan badai yang meluluh-lantakkan hormonnya setiap bulan. Benci ketika menyadari, menjadi perempuan yang belajar kecantikan, ada berbagai ekspetasi orang lain, yang anehnya tak bisa kupenuhi sebagai perempuan. 

Ini bukan soal aku suka siapa. Bukan soal aku mengidentifikasi diri sebagai apa dari ratusan jenis gender di dunia yang mulai gila ini. Ini tentang belajar menerima ekspetasi orang lain terhadap gendermu. Dan belajar bahwa membuatnya gagal lebih membuat hidupmu bahagia daripada berusaha memenuhinya.

Dan aku gagal membuatnya gagal. I don't think long hair suits me. So I cut it again. Tapi kali ini tanpa memotong porsi makanku. Aku tetap mempertahankan tiap lekukan tubuhku yang mulai mematang seiring usiaku. Aku belajar mendengarkan kembali suara tubuhku, aku belajar untuk bekerja sama dengan cangkang yang menjadi medium bagiku untuk melakukan banyak hal. 

Masih banyak orang yang salah paham dengan diriku setelah lagi-lagi memotong rambutku. Sejujurnya, menjadi hiburanku tersendiri melihat orang-orang bertanya-tanya padaku. Aku tahu tak bisa selamanya begini dan aku juga tak mengharapkan hal ini terjadi kemanapun aku pergi. Tapi berilah aku sedikit waktu untuk menerima bentuk fisikku apa adanya, untuk meredefinisikan kembali apa arti cantik itu sendiri bagiku. Berilah aku sedikit waktu untuk bertumbuh dan siapa yang tahu, selagi aku sibuk bertumbuh, keinginan untuk memotong pendek rambutku juga ranggas. 

Komentar

Postingan Populer