Di-skak Pelanggan
Hai, Kala di sini. Membuatku berpikir mengenai keeksistensian diri di sini mungkin cuma bisa dilakukan oleh pelanggan satu ini. Ia dengan entengnya menangkup mulutku hingga tak bisa berkata. Yah, buatku yang reaksinya memang lambat, orang sejenis inilah yang bisa langsung men- skak mat ku. Telak. Jadi, begini ceritanya...
Aku kan hendak memakai scalp water (nggak di-translate, takut merinding baca literal translate Indo-nya). Nah, kebetulan produk yang aku pakai ini menarik perhatiannya karena baunya yang harum. Lalu ia bertanya berapa harganya. Aku pun menjawabnya sembari merekomendasikan bahwa sebenarnya produk tersebut merupakan hadiah jika membeli kartu member cuci kepala. Aku lalu bilang, bahwa dengan harga segitu, kamu bisa dapat produk tersebut dan lima kali cuci kepala.
Singkat cerita, ketika ia hendak tanda tangan kartu member di konter, aku kembali menawarkan kartu member tersebut. Lalu dengan nada bicara santai, ia langsung bilang, bahwa aku seharusnya melihat seberapa sering ia datang mencuci kepala. Masakan ia yang jarang cuci kepala dan baru beli kartu member disuruh beli lagi. Inti yang ia mau sampaikan adalah, jangan cuma mau mengejar performa kerja saja, tapi juga harus mempertimbangkan kebutuhan pelanggan. Skak. Mungkin akan lebih mudah bagiku untuk membalas menggunakan bahasa Indonesia. Membalas kalimat pedas nan asam menggunakan bahasa ketigamu itu tidak mudah, saudara.
Aku menceritakan perihal tersebut kepada salah satu guruku. Supaya kalau ada kejadian serupa selanjutnya, aku bisa tahu bagaimana cara membalas. Pelajaran hari ini, aku salah karena menitik beratkan kartu member yang sudah jelas ia tak butuh. Harusnya aku lebih banyak menawarkan produk yang sudah ia minati sebelumnya. Aku tak merasa sepenuhnya salahku, sih. Kami kerja di sini kan mendapat cuan lewat melayani pelanggan sembari menawarkan produk salon.
Pola pikir ini berbeda jauh dengan diriku yang sebelumnya. Aku lebih mengedepankan persepsiku tentang perasaan pelanggan dibanding melakukan fungsiku sebagai penjual. Maksudku, layaknya pegawai Ind*mart yang menawarkan isi pulsa dan memberikan struk belanjaan, ia cuma melakukan tugasnya saja, kan. Atau pegawai toko baju yang ngintilin terus saat kita sedang asyik-asyiknya pilih baju. Kita sebagai pembeli tak bisa melarangnya, kan.
Jadi sekarang, as long as I don't force them to buy, it's acceptable for me to continue sell. Apakah aku suka berjualan seperti ini? Tidak, sama sekali tidak. Tapi keadaan memaksaku untuk setidaknya melakukan prosedur yang sudah ditentukan. Bullshit. Tentu saja alasanku menawarkan produk ini-itu untuk uang. Kalau tak berhasil menjual, yah, aku harus puas dengan gaji UMR.
Makanya, sebagai penyedia jasa sekaligus penjual, kami dituntut untuk bisa membaca situasi. Jika pelanggan sudah merasa terganggu dengan berbagai penawaran, yah, aku ajak mereka ngobrol hal-hal remeh. Jika aku ingin menjual, aku juga bicara basa-basi. Kalau mood, aku ngalor-ngidol mengenai keseharianku. Begitulah. Tapi sampai saat ini, aku cuma buang ludah kalau ada maunya. Mau berjualan, bacot dulu. Kalau nggak, cuma alunan lagu dari speaker yang memenuhi kepalaku.
Nggak salah, sih. Siapa juga yang suka ngomong terus selama hampir dua belas jam, kan. Cuma sebenarnya aku berharap bahwa kata-kata yang terdengar basa-basi itu bisa berubah menjadi sebuah perhatian tulus kepada pelanggan. Tak cuma sekadar kalau ada maunya, tapi juga karena benar-benar peduli. Mungkin, mungkin di masa mendatang.
Komentar
Posting Komentar