Untuk yang Meninggalkan dan yang Ditinggalkan



Hai, Kala di sini. Pagi ini adikku sampai di Taiwan dengan selamat. Hal ini menimbulkan nostalgia tersendiri bagiku yang datang ke Taiwan tepat setahun yang lalu. Waktu benar-benar cepat berlalu. Saat itu bagaimana ya rasanya di negara yang asing bahasa dan budayanya ini. Apakah aku merasakan hawa kebebasan, antusias, atau justru gugup dengan apa yang akan aku hadapi nanti? Apa yang adikku rasakan ketika berpelukan terakhir kali dengan kedua orang tuaku?


Mungkin aku paling tidak bisa bersimpati dengan perasaan orang tuaku. Apa yang adikku rasakan, pernah kurasakan setahun yang lalu.  Tapi perasaan sunyi yang mulai menyergap rumah kami di Bandung tak akan bisa ditepis oleh kedua orang tuaku. Aku dapat membayangkan adikku yang duduk di meja belajarnya merajut sembari nonton Youtube, sebuah hobi yang akhir-akhir ini menjadi aktivitas pembunuh waktunya. Kegiatan yang tak pernah benar-benar kulihat dengan mata kepalaku sendiri kecuali boneka-boneka hasil rajutannya.

Mungkin perasaan kehilangan sesosok yang bisa diajak bertukar kata, hangat pelukan dari tubuh jangkungnya, atau senyum manisnya. Entahlah, aku sudah tak dapat membayangkannya. Sudah lama sekali aku meninggalkan semua itu. Apa yang biasa kami lakukan dulu? Bayangan itu sudah menyamar, memburam, dan layaknya potongan foto lama yang sudah menguning. Bertumpuk-tumpuk hingga aku tak tahu mana yang terjadi lebih dulu, mana yang terjadi belakangan, mana yang benar-benar terjadi atau cuma sekadar bunga mimpi yang masih menempel.

Semua kisruh persiapan keberangkatan adikku tak akan lagi menjadi denting notifikasi di grup keluarga, digantikan dengan pertanyaan bagaimana suasana di sana, sudah makan belum dan jangan lupa pakai jaket. Aku masih mengingat jauh- jauh hari sebelum adikku berangkat, keluargaku sudah beberapa kali pergi liburan ke luar kota.  Membuat sebanyak mungkin kebersamaan yang mungkin susah dicari di masa mendatang. Bersamaan dengan pandemi yang kunjung mereda dan mobilisasi yang perlahan kembali normal, adikku bisa benar-benar mempersiapkan kepergiannya dengan lebih matang daripada aku dulu. 

Ia bahkan sempat mengeluh ingin di rumah saja menikmati waktu-waktu kosong harus bersekolah dan bekerja, nyaris tanpa libur panjang. Berkebalikan dengan aku dulu yang terus melakukan aktivitasku seperti biasa di rumah, sekolah jarak jauh, makan, olahraga, nonton, tidur, berak. Satu-satunya keinginan yang terlaksana sebelum aku pergi adalah pergi ke pemandian air panas wkkw. Kira-kira apa, ya wishlist adikku sebelum pergi ke Taiwan?

Kondisi ekonomi keluarga yang membaik juga menjadi salah satu pembeda. Meski aku tak benar-benar tahu, sih bedanya tuh yang seperti apa. Aku sendiri merasa pada saat aku pergi, aku sudah dipersiapkan secara matang baik secara material maupun psikis. Meski tentu saja, awal-awal kedatanganku kesini, aku tetap kena mental dengan budaya dan lingkungan yang baru. Tapi berbeda dengan orang tuaku yang jelas menyadari perbedaan persiapan kami berdua. Makanya lucu ketika beberapa hari sebelum adikku berangkat, ibuku justru meminta maaf padaku karena tak mempersiapkankan kepergianku dengan 'lengkap'.

Baru pada saat itu aku mulai membandingkan-bandingkan diri. Hah, bukankah itu biasa bagi anak sulung untuk menjadi eksperimen percobaan? Percobaan menjadi orang tua, percobaan cara perlakuan dan sikap bagaimana menghadapi tantrum anak, dan sejumlah percobaan lain. Kehadiranku di Taiwan kuanggap sebagai pembuka jalan bagi adikku.  Dulu, aku tak mengerti konsep ini. Aku bahkan, dalam isak tangisku, berteriak bahwa di masa depan, adikku tak boleh lebih sukses daripada aku.

Memikirkannya sekarang justru membuatku malu. Aku lupa bahwa kebanggaan seorang kakak adalah melihat adiknya bersinar lebih daripada dirinya. Bahwa di masa mendatang, pada saat ia menginjak usiaku sekarang, ia lebih sukses daripada diriku yang sekarang. Bahwa kesuksesanku adalah melihatnya sukses.

Jadi aku merasa permintaan maaf itu tak perlu, bahkan boleh dibilang, tak wajar. Karena memang sudah seharusnya begitu. Kalau yang kedua kali lebih baik daripada yang pertama, itu justru menunjukkan sebuah progres dan perbaikan. Sesuatu yang diharapkan dari setiap manusia sehat.

Tapi bukan berarti kalimat 'ia pasti lebih sukses daripadaku' menjadi penghalang untuk bertumbuh dan menantang diri sendiri. Aku sendiri akan berjuang untuk masa depanku sendiri dan menentukan definisi suksesku sendiri. Akhir kata, selamat datang di Taiwan, adikku. Semoga aksara-aksara Mandarin yang akan makin sering kau jumpai beserta budaya dan orang-orang di dalamnya bisa membuatmu kerasan menyelesaikan pendidikanmu di sini. 

Komentar

Postingan Populer