Apakah Kamu Salah Satu Bunga yang Mekar Kembali?
Hai, Kala di sini. Bagiku, patah hati terbesar adalah kehilangan teman seperjuangan, teman curhat, dan seorang kakak. Sebagai seorang anak pertama, aku tak punya figur seorang kakak yang memberi nasehat dan tak sungkan untuk marah ketika aku melakukan kesalahan. Teman seperjuangan di tokoku yang berusia lebih tua dibanding aku menjadi sosok kakak itu. Meski lucu karena sebenarnya, ia adalah anak bungsu di keluarganya. Intinya, hubungan kami terkadang seperti kakak-beradik, kadang seperti anak bebek yang main air.
Sejujurnya, apakah aku berpikir bahwa kami cocok? Sebenarnya tidak juga, obrolan kami hanya terbatas ngegibahin teman sekerja dan teman sekelas. Itu saja. Terkadang kami mengobrol soal keluarga masing-masing. Karena meski sama- sama berasal dari Indonesia, ia tinggal di pulau yang berbeda denganku. Setelah itu, tak ada kesamaan lain pada kami. Di kelaspun, aku jarang berbicara dengannya. Karena memang setidak tau itu mau ngobrol apa.
Tapi, menjadi salah dua orang Indonesia di salon yang dipenuhi orang Taiwan, mau tak mau kami saling bergantung dan saling menguatkan di penghujung hari yang melelahkan. Tentu saja, kadang kami suka beradu mulut. Perbedaan kepribadian kami mungkin menjadi salah satu penyebabnya. Kupikir adu mulut menjadi satu- satunya warna di hubungan kami. Tapi, aku salah besar.
Beberapa waktu lalu, kami bertengkar. Sebenarnya, sih karena masalah kecil. Namun, masalah kecil kalo dipentaskan juga akan membesar dan seperti bom waktu, ia akan meledak juga pada akhirnya. Semuanya bermula karena sikapku yang terlalu asal-asalan? Entahlah, soal perilakuku yang satu ini, aku benar-benar tak mengerti. Aku merasa aku serius mengerjakan banyak hal, tapi tak semuanya aku bisa selesaikan dengan sempurna, kan. Ada beberapa yang aku anggap enteng supaya aku bisa menyelesaikan hal yang lebih mendesak, lebih penting dengan lebih baik. Tapi, aku tak menyangka keputusanku ini justru mempengaruhi orang lain. Intinya, jadi ngeselin, deh.
Malam hari sepulang kerja, pertama kalinya aku mendengar ia menangis begitu keras. Ia melolong dengan putus asa seperti seorang serigala di malam bulan purnama. Malam itu juga ia bilang, ia benci padaku. Dua kali ia bilang ia benci padaku. Apa perasaanku saat mendengarnya, ya? Aku merasa lucu dan terhibur? Maksudku, tidak mungkin kan ada orang yang merasa benci pada seseorang lalu berkata aku benci padamu. Kata-kata seperti itu mengingatkanku pada tingkah laku anak SD yang lagi berantem sama temannya.
Maksudnya, aku tahu aku salah sampai ia meledak dan bilang seperti itu. Tapi kata-kata setelahnya lebih membuatku tertawa. Tapi aku tak akan menuliskannya di sini. Bagiku tak penting lagi kejadian itu. Yang terjadi setelahnya lebih membuatku merasa kosong. Aku tak merasa sakit hati dengan kata-katanya tapi aku takut karena kejadian ini, hubungan kami tak akan bisa kembali seperti semula lagi. Itu karena aku tahu, ia tipe orang yang kalau udah sakit hati, tak akan bisa memaafkan orang itu lagi.
Pada malam itu, aku meminta maaf padanya. Tapi seperti kata Tulus, setiap orang butuh ruang sendiri. Jadi selama beberapa malam, kami tak mengobrol satu sama lain. Mungkin hanya sepatah dua patah kata. Itupun jika benar-benar dibutuhkan. Aku benar-benar memberi tempat bagi waktu untuk membuat ombak yang bergemuruh itu menjadi tenang. Meski setiap kali menatap keberadaannya, aku ingin sekali bertanya. Sudah puaskah kamu berdiam diri? Kapan bisa memaafkanku.
Pada saat seperti itulah, aku benar-benar merasa keberadaan seorang teman seperjuangan itu sangat penting. Karena sejujurnya, kalau tak ada ia, aku tak tahu harus berbicara pada siapa. Apalagi mengingat kemampuan mandarinku yang masih pas-pasan. Tak semudah itu untuk mengungkapkan isi hati memakai bahasa bangsa leluhur yang tak pernah tumbuh bersamamu. Mempunyai seseorang yang peduli padamu itu sebuah anugerah. Tapi menyenangkan juga punya seseorang untuk diperhatikan. Karena dengan seperti itulah, keberadaanmu menjadi lebih berarti.
Jadi, seperti itulah aku menghabiskan waktu selama seminggu. Memberinya waktu untuk menata kembali hati. Aku sudah melakukan apa yang aku bisa, aku juga sudah meminta maaf. Namun itu keputusannya sendiri untuk memaafkan aku atau tidak. Selebihnya, tak ada yang bisa aku lakukan. Lagian aku tahu kok, apapun hasilnya, itu adalah yang terbaik bagiku. Kalau ia memutuskan untuk pergi, mungkin Tuhan ingin agar aku mandiri. Kalau ia kembali, itu artinya hubungan kami selanjutnya harus aku rawat sebaik mungkin.
Akhir-akhir ini aku belajar untuk tak mengikat seseorang pada hidupku. Tidak bergantung sepenuhnya pada mereka yang aku tahu bisa pergi kapan saja. Dan pada apapun yang terjadi, pada apapun yang dunia berikan pada tanganku yang mengemis, aku akan berterima kasih. Aku lebih bahagia ketika mengucapkan terima kasih pada apa yang aku punya, daripada menolehkan kepala memandang kepunyaan orang lain.
Btw, kita udah baikan loh ;)
Komentar
Posting Komentar