Ini Bacotan tentang Sebuah Papan
Hai, Kala di sini. Meski salon baru buka jam sepuluh, kami harus sudah absen pada pukul sembilan. Karena asramaku di lantai dua, aku biasanya sudah melakukan bersih-bersih pagi pada pukul delapan lebih. Terkadang, kalau kemarin malamnya sangat sibuk, kami melanjutkan piket pada keesokan paginya. Sehabis itu, masih ada kelas pagi dan rapat harian.
Sering kali, jarak antara waktu rapat dan waktu buka toko sangat sempit sampai-sampai kami lupa untuk membalikkan papan tanda 'buka' dan 'istirahat'. Bukan hal yang penting juga, sih. Aku rasa orang-orang lebih percaya dengan apa yang tertulis pada Google Maps daripada apa yang tertulis di depan toko. Tapi pada pagi menuju siang yang sepi, terkadang aku berpikir, 'pantas toko sepi, aku lupa membalikkan papan'.
Lalu ingatanku kembali pada sebuah episode Spongebob dimana Mr. Krab percaya bahwa Krusty Krab dikutuk oleh Plankton karena tempat makan burger yang terkenal itu layaknya kuburan kosong. Yang sebenarnya terjadi adalah karena mereka lupa membalikkan papan tutup dan buka. Humor dan pelajaran hidup yang disajikan di episode ini membuatku begitu terhibur sampai-sampai masih teringat meski waktu sudah berlalu.
Mungkin aku diam-diam percaya akan kutukan papan buka kali, ya. Terkadang, ketika hari sudah malam dan sudah lelah karena seharian telah melayani begitu banyak pelanggan, aku cuma ingin membalikkan papan tanda itu di jam tujuh lalu menyelesaikan pelanggan terakhir dengan cepat. Kalau sudah begitu, aku terkadang becanda dengan teman sekerjaku lalu kami berpura-pura membalikkan tanda itu. Tentu saja, pada akhirnya tanda 'buka' itu tak dibalikkan sebelum bel berdenting untuk terakhir kalinya menandakan pelanggan terakhir keluar.
Kami terlalu pengecut dan terlalu takut bos akan melihat CCTV lalu menyalahi kami yang secara tak langsung menolak pelanggan. Tentu saja, aku tahu bos hanya menjalankan perannya yang harus memastikan pendapatan toko. Aku yang dulu pasti mengeluh karena merasa jadi bos mah enak, duduk doang, ketawa-ketiwi. Lah, aku yang cuci kan, mengcape. Udah seharian cuci kepala, harus cuci lagi. Padahal beberapa menit lagi jam pulang kerja.
Lalu, sehabis itu apa? Ketika pelanggan pergi, yang tersisa hanyalah kami dan para hairstylist. Ketika mereka satu persatu pergi, hanya tersisa kami yang tinggal di asrama. Lalu, malam menjemput. Hingar binar salon menyurut bagai ombak di pantai. Hanya ada sunyi, sepi, dan letih merangkul. Sekarang aku tak lagi mengejar pukul delapan lebih tiga puluh. Mau pulang kerja tepat waktu atau tidak pun bagiku tak ada bedanya. Hanya ada sepi dan letih yang menemani.
Dengan cara pikir seperti itulah, aku merendahkan ekspetasiku. Karena kerja di salon yang menyediakan layanan jasa, kau tak mungkin mengharapkan pelanggan untuk datang jauh sebelum jam tutup salon. Kami pun tetap dituntut untuk bekerja dengan profesional meski tubuh sudah meronta-ronta ingin kabur.
Jam kerja salon yang panjang membuatku menimbang ulang prospek kerjaku di masa depan. Tapi itu untuk cerita lain hari. Bagiku papan buka dan tutup bagai pintu hatiku yang perlahan mulai legowo dan menerima kalau nggak mungkin setiap hari bisa pulang kerja lebih awal.
Komentar
Posting Komentar