Takut Tambah Dewasa
Hai, Kala di sini. Aku jadi teringat, awal mula aku menulis blog ini. Untuk alasan apa aku menulis blog ini, lebih tepatnya. Untuk melarikan diri dari kenyataan. Pada saat itu, pandemi masih menjadi buah bibir TV nasional dan aku di rumah menonton pertunjukan orang-orang yang jatuh dan didorong masuk rumah sakit sambil ngemil. Kasarnya, rasa ibaku sudah menumpul karena terlalu muak dengan angka dan grafik yang naik turun itu. Aku sendiri sibuk over thinking masa depanku sendiri.
Kala itu, kelas dua SMA. Mereka bilang, masa SMA adalah masa yang paling menyenangkan. Yah, menyenangkan palamu. I have to fight with my own self, my nightmare. Karena pada hari kelam yang repetitif itu, waktu tetap berjalan dan aku mau tak mau harus menghadapi masa depanku. Kuliah. Jurusan. Pekerjaan. Menjadi dewasa. Percaya tak percaya, keputusanku ke Taiwan juga untuk memperpanjang masa sekolahku supaya aku tak usah menghadapi pertanyaan-pertanyaan itu. Atau kenyataan itu.
Satu tahun sudah semenjak kejadian itu. Melihat teman-temanku masuk lubang yang berbeda, aku mulai memantapkan hati. Sekolah sambil bekerja memberi perspektif baru padaku yang anak rumahan ini. Tentang tanggung jawab. Tentang menjadi dewasa. Tentang masa depan. Apakah pertanyaan tahun lalu sudah terjawab? Belum saudara-saudara, sama sekali belum. Aku masih belum tahu mau jadi apa, mau kuliah atau kerja, dan masih takut menjadi dewasa.
Menjadi dewasa berarti bertanggung jawab dengan keputusan sendiri. Banyak yang dulu tak pernah terlintas di benak, kini menghiasi malam yang tamak. Tapi, aku berpikir aku memang butuh waktu satu tahun itu untuk berpikir, untuk mengintrospeksi ulang hidupku yang masih hijau. Untuk menyusun strategi mungkin. Layaknya anak panah yang harus ditarik mundur sebelum ia bisa melesat cepat.
Di toko, aku diangkat menjadi hairstylist. Itu artinya, aku tidak lagi cuma mencuci rambut, tapi juga nge- blow rambut pelanggan. Aku tak cuma pijat-pijat rambut, doang tapi juga menggunting dan mengecat rambut pelanggan. Intinya, menjaga tingkat kepuasaan pelanggan biar gak dikomplain. Karena kalau pelayanan tidak memuaskan, aku yang langsung dimarahi oleh pelanggan, tidak lagi cuma ditegur oleh para hairstylist.
Alah, apa susahnya sih? Cuma gunting, doang.
Hah, coba saja gunting ponimu sendiri. Berani, gak? Tak semudah itu, ferguso. Itu artinya tanggung jawabmu makin besar. Karena kerja di salon yang merupakan layanan jasa, topeng senyuman palsu itu harus kamu kenakan meski hati lelah dan ingin memaki. Nanti, deh kapan-kapan kuceritakan kelakuan ajaib pelanggan yang bikin elus-elus dada. Tiap hari tak cuma menahan panas hair dryer, panas hati ini juga harus ditelan bulat-bulat.
Kadang, merasa semua ini terlalu besar untukku yang kecil. Aku merasa ciut, merasa tak kuat menahan beban baru ini. Kalau sudah begitu, aku cuma menutup mata dan menarik napas panjang. Beban besar yang kulihat, sebenarnya cuma ilusi saja. Ia seperti balon besar yang memojokkanku pada satu titik tanpa ruang untuk kabur. Jadi, kupeluk balon itu, kuhisap gas di dalamnya pelan-pelan. Dan tanpa kusadari, ia mengecil dan aku membesar.
Kupikir, menjadi dewasa membutuhkan banyak tips and trik. Ternyata yang kubutuhkan hanyalah menjalaninya saja. Seperti mendaki gunung untuk menyentuh awan. Tanpa kau sadari, kau sudah berada di dalam awan itu sendiri. Tak hanya itu, siapa yang tahu kalau kau ternyata sudah di puncak gunung itu.
⭐️Idgitaf - Takut
Komentar
Posting Komentar