Mereka yang Wisuda Kemarin

 

Hai, Kala di sini. Menulis untukmu pada pagi dini hari aku libur kerja. Mungkin karena dengkuran temanku yang tertidur, mungkin karena aku, seperti anak kecil, yang tak sabar menunggu hari libur. Tempo hari, teman-teman SMPku wisuda kelulusan SMA. Tak terasa waktu berlalu dengan cepat, terima kasih pada pandemi yang mengambil paksa wisuda SMP yang tak pernah kumiliki, mereka tahu-tahu sudah lulus SMA saja.


Aku yang berada di negara orang, cuma bisa mengucapkan selamat, mengirim bunga, dan mendoakan yang terbaik. Meski sesudahnya, aku agak menyesali memberikan sesuatu yang biasa orang berikan pada umumnya. Cuma menjadi salah satu padahal yang kuinginkan adalah menjadi satu-satunya. Kupikir, kita menjadi egois pada sesuatu yang kita pikir adalah milik kita yang kita beri kasih sayang semu.

Aku tahu hari ini akan terjadi juga, bahkan sebelum aku datang ke Taiwan. Menyaksikan teman-teman seangkatanku menanggalkan seragam yang biasa mereka kenakan, sementara aku masih di bangku SMK. Kita memulai pada satu yang sama, aku pergi pada dua, dan sementara aku belum tiga, kalian sudah lulus. Dan meski teman-teman sekelasku yang sekarang menyayangkan aku yang belum lulus SMA, apalah arti setahun lebih lambat?

Dulu, aku selalu berpikir, lebih cepat lebih baik. Kalau sekolahku yang dulu ada kelas akreditasi, aku mau menantang diriku masuk kelas itu untuk lulus lebih cepat meski harus terengap-engap. Aku selalu bangga pada kenyataan kalau aku masuk sekolah lebih cepat setahun meski yang sebenarnya cuma lebih cepat beberapa bulan saja. Entah disengaja atau tidak, aku sering membaca artikel bagaimana cara lulus cum laude empat tahun, kalau bisa lebih cepat malahan.

Kebiasaanku menenggelamkan diri baca postingan quora tentang anak kuliahan adalah cara ninjaku menghabiskan waktu. Dan sementara menantikan masa kuliah yang penuh dengan kebebasan dan semangat anak muda, aku malah melarikan diri ke Taiwan karena belum siap menjalani ekspetasi itu. Miris. Namun ada satu postingan yang paling mengena, sepertinya aku baca di line? Atau quora? Entahlah, aku lupa. Pokoknya inti dari tulisannya adalah, ngapain cepat-cepat lulus kuliah kalau kamu bisa menikmati jadi enaknya anak kuliahan. Justru si penulis, saking sukanya di bangku kuliah, sampai-sampai sengaja memperpanjang waktu kuliahnya menjadi tujuh tahun. Sebenarnya, banyak sih keuntungan jadi pelajar. Bisa belajar sana-sini, menikmati fasilitas, kerja magang sekalian mengeskplor minat yang dimiliki.

Makanya menginjak kelas dua akhir ini, meski memegang gelar ijazah SMK, cuma jurusan kecantikan lagi. Aku coba dibawa santai saja soal kuliah dan jurusannya. Aku sudah mewanti-wanti orang tuaku bahwa aku tak akan memaksakan diri untuk langsung kuliah. Aku bahkan tak keberatan kalau harus mengambil gap year sekalian memikirkan matang-matang langkahku kedepannya. Aku menyadari setelah pergi merantau, jauh dari orang tua dan harus melakukan apa-apa sendiri, ada banyak hal di Indonesia yang tak pernah aku kunjungi, aku eksplor, aku pelajari mengingat statusku masih menjadi anak di bawah umur. Intinya, aku di negara sendiri aja kurang jauh mainnya, masa mau buru-buru menenggelamkan diri di antara tumpukan buku?!

Yang sekarang dan kedepannya akan kukejar adalah pengalaman, sebuah cerita yang bisa disampaikan pada orang yang mau mendengarkan. Aku tak mau dikenal sebagai seseorang yang lulusan luar negeri, beasiswa, lulusan terbaik lagi. Atau punya gaji tinggi, kerja di perusahaan luar negeri, gajinya dolar Amerika lagi. Bukan, bukan itu yang aku mau. Yang aku mau orang-orang katakan tentangku adalah, berapa banyak negara yang pernah aku kunjungi, tempat-tempat di mana aku menginjakkan kakiku, tentang proyek kemanusiaan dan lingkungan yang aku ikuti, tentang pameran seni yang aku buat. Aku mau melakukan semua hal  asyik itu meski tanpa porsche sebagai tumpanganku atau Komplek Kemang sebagai tempat tinggalku.

Yah, intinya meski jalan hidupku belok dulu ke Taiwan, aku belajar menerima fakta bahwa semua orang punya jalan hidup yang berbeda. Dan mungkin aku saja yang terlalu cepat memilih jalan yang berbeda itu. Karena pada akhirnya bukan tentang siapa yang lebih cepat atau yang lebih lambat, bukan tentang siapa yang dulu menjadi murid teladan dan siapa yang 'sukses' di kemudian hari. Tapi tentang bersyukur dengan apa yang hidup berikan. Meskipun kelihatannya, rumput tetangga lebih hijau daripada bunga dipelukan. 

Komentar

  1. I'm sobbing๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ
    It's meaningful for me, thanks.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer