Aliran Jalan Mesin Waktu
Hai, Kala di sini. Tak terasa, satu periode tiga bulan berakhir kembali. Setiap kali kembali bersekolah, aku selalu merasa periode ini terlalu cepat berlalu. Apakah karena aku akrab dengan teman sekelasku? Tidak, tidak sama sekali. Tapi bukan itu yang mau aku bahas di postingan kali ini. Ada banyak hal yang bisa aku syukuri dengan program tiga bulan kerja dan tiga bulan sekolah ini. Kalau dulu aku merasa tiga bulan adalah waktu yang terlalu cepat untuk beradaptasi kembali. Kali ini aku merasa mungkin tiga bulan adalah waktu yang tepat untuk belajar banyak hal.
Sore itu, matahari sudah tidak terlalu terik. Aku dan temanku berjalan lewat belakang sekolah menuju tempat makan prasmanan langganan kami. Kami berdua sama-sama terdiam, sibuk dengan pikiran sendiri. Pernahkah aku menulis kalau aku benci berjalan sendiri? Akhir-akhir ini aku menyadari betapa sunyinya pikiran ini di antara gerungan gas dan suara klakson jalanan. Biasanya, pada kesempatan ini aku menelepon orang rumah. Meski hanya beberapa menit, ada orang yang bisa diajak ngobrol adalah sebuah kemewahan sederhana bagiku.
Hari ini mungkin adalah hari terakhir aku melewati jalanan itu. Esok-esok, aku sudah pergi ke Zhubei untuk mencangkul keping uang. Dan siapa yang tahu, kedai makan favoritku, teman dekatku, lorong panjang yang setiap hari kulewati, mereka yang sering kulihat wajahnya meski tak tahu namanya, mungkin tak akan aku jumpai lagi. Mungkin hari ini adalah hari terakhir aku berpapasan dengannya. Dia yang kukagumi dari jauh tanpa mau repot-repot berkenalan dengannya.
Tiga bulan lalu, berat badanku naik hampir sepuluh kilo akibat stress dan kesepian? Aku yang terlalu takut gemuk malah makan lebih banyak, sampai muak dan mual. Aku bahkan berharap perutku adalah sebuah lubang yang tak pernah merasa kenyang. Aku takut kalau aku kembali sekolah, hal pertama yang teman-temanku komentari adalah berat badanku. Padahal sejujurnya, sebelum aku naik berat badan pun, gejalanya sudah mulai muncul. Malam-malam sepi ditemani roti, dan suara yang terdengar hanyalah kecapan mulutku. Dengan harapan, ruang kosong di hati itu dapat diisi oleh roti yang kutelan.
Aku tak menangis. Aku juga tak marah. Aku cuma menatap kosong, menyadari betapa sia-sianya usahaku. Aku bangun di pagi hari seperti menyusun balok menara. Pelan-pelan berharap ia akan menguat dan tak mudah roboh. Pada masa ini, aku cuma memungut serpihan energi yang tertinggal di semesta untuk melanjutkan hidupku. Boro-boro berpikir untuk menjadi terang, aku yang bisa menyala saja sudah bersyukur.
Tapi tiga bulan ini, pelan-pelan senyumku muncul kembali. Aku bahkan bisa melucu dan tertawa lagi. Mereka yang mau mengenalku dan menerima diriku apa adanya, yang mau mendengarkan pendapatku pelan-pelan membangkitkan kembali rasa percaya diriku. Bukan karena bentuk tubuhku, bukan juga karena usahaku untuk menjadi orang lain. Karena aku adalah aku.
Aku masih belum tahu apa saja kualitas dalam diriku yang masih harus diperbaiki untuk lebih baik lagi. Aku belum bisa membedakan mana yang diriku sendiri dan mana yang bisa kuubah, kutoleransi untuk teman-teman di lingkunganku. Yang aku tahu, kalau aku bisa bercanda tawa dengan temanku yang sekarang namun penuh rasa kehati-hatian di kelas, bukan berarti aku menjadi orang yang berbeda. Bukan berarti aku yang kesepian di kelas menunjukkan ada yang salah denganku. Tapi lingkungan juga menjadi faktor penentu sikap dan responku.
Aku tak keberatan dianggap penyendiri oleh teman-teman sekelas maupun oleh para guru. Aku tahu pasti, aku tak suka sendiri dan aku punya teman di luar kelas. Aku belajar menerima fakta bahwa tak semua teman bisa cocok dengan kepribadianku dan mungkin, mungkin saja, bukan cuma dua tiga orang. Tapi aku tak akan berhenti berbuat baik pada mereka yang menyalah pahamiku. Sambil terus bersinar di samping teman-teman yang memberiku energi positif, aku mungkin dapat menyentuh sisi gelap mereka yang rapuh. Sama seperti mereka yang lebih dulu menyentuh sisi gelapku.
Mengetahui bahwa dalam tiga bulan, lingkunganku beserta keseharianku akan berubah drastis, aku lebih menggenggam apa yang terjadi saat ini. Tidak sampai mencintai durinya, tapi belajar lebih menikmati sakit dari kesunyian itu sendiri. Tahu kalau ia tak akan lama. Sama seperti tawa renyah yang keluar juga akan menguap ditelan ruang.
Senang itu sementaraJika senang jangan terlaluJika sedih jangan terlalu
(Pegang Tanganku - NOSSTRESS)
Tak kupungkiri, ada diriku yang egois yang berharap kebahagiaan ini akan terulang kembali ketika aku kembali. Wajah-wajah familiar dengan cerita yang berbeda. Lengan yang sama untuk menggenggamku meski di waktu yang berbeda. Tapi jika napas yang dihirup saja harus segera dihembus keluar, apalah arti kebahagiaan yang semu ini.
Biarlah jadi penyemangat untuk aku berjalan di aliran jalan ini, menikmati waktu yang terus berubah sembari mengenang waktu lalu di mesin waktu.
Komentar
Posting Komentar