Tentang Kamu: Harga Sebuah Kerja Keras



Hai, Kala di sini. Buku memang sebuah jalan pintas untuk kabur dari realita. Meski sekarang banyak drama dan video bermunculan untuk kabur dari realita, tak akan ada yang mampu mengalahi seorang penulis yang dengan apiknya menceritakan seorang tokoh. Aku tak akan banyak bercerita mengenai tokoh dan latar belakang novel ini. Aku akan langsung pada bagian yang membekas padaku. Untuk mengingatkanku pada sebuah arti kerja keras dan kesabaran yang dimiliki Sri Ningsih dan sifat seorang Gryffindor dari Zaman Zulkarnaen. Bila 'Hujan' memiliki lukisan apresiasi khusus dariku dan 'Kau dan Sepucuk Angpau Merah' kutulis dalam bentuk puisi, maka 'Tentang Kamu' akan kuabadikan dalam sebuah resensi.


Aku tak dapat membayangkan bagaimana caranya seorang Sri Ningsih bisa terus berpikir positif dan membangun kepercayaan dirinya. Pada masa remajanya, ia dihabiskan menjadi Cinderella di rumah ayahnya sendiri. Bila Cinderella menemukan pangerannya begitu keluar dari rumah terkutuk itu, Sri Ningsih butuh berpuluh-puluh tahun kemudian untuk menemukan cinta sejatinya. Sedari kecil, sudah dicap sebagai 'anak yang dikutuk' oleh ibu tiri yang pernah menyayanginya, dijadikan pembantu, diteriaki keras-keras untuk kesalahan kecil. Sri Ningsih yang tak lagi mempunyai siapa-siapa, bagaimana ia menghibur diri sendirinya ketika malam mampir?

Aku sudah berusia enam belas tahun ketika aku tiba di Taiwan, punya guru yang peduli padaku, bertanya ini-itu dan meskipun punya teman yang menyebalkan dalam arti harfiah, aku masih memiliki. Sri Ningsih masih berupa bayi merah ketika ditinggal ibunya dan baru berusia sembilan tahun ketika ayahnya meninggal. Ia sebatang kara. Aku mengeluh pada diriku yang merindukan omelan bapakku dan cerewetan emakku, beralasan aku yang sekarang hidup berantakan ini pasti karena tak ada mereka yang mengingatkanku. Tapi ia? Sejak jam empat subuh sudah bangun, melakukan pekerjaan rumah tangga sekaligus mencari nafkah. Omelan tanda perhatian yang diterimanya adalah caci maki kalau ia tak membawa pulang uang.

Lima tahun ia bertahan untuk dikhianati oleh sahabatnya sendiri di periode hidup selanjutnya. Sri, Sri, hatimu terbuat dari apa sampai bisa seteguh itu? Ingin sekali menanyakan pertanyaan padanya jika ia benar-benar ada di dunia. Tapi persetan dengan darah dan daging, kalau selembar kertas dan bolpoin saja sudah cukup untuk membuatku mempertanyakan keputusan-keputusan hidupku. Aku yang semakin lama semakin mirip dengan temanku yang dulu aku nyinyiri dalam hati. Tentang harga diri yang tak mau bekerja lebih keras padahal mampu. Alasannya? Karena takut diinjak-injak oleh mereka. Padahal esensinya bukan tentang siapa yang mampu mendominasi siapa, tapi siapa yang memiliki kelapangan hati untuk melakukan pekerjaan fisik meski tanpa dilihat orang apalagi diakui orang lain. Tentang siapa yang rela untuk bersabar.

Aku mungkin tak akan menyikat kaskus tanpa disuruh seperti Sri, tapi aku mau untuk menggunakan seluruh sumber daya yang aku punya untuk berkembang dan belajar darinya. Aku memikirkan diriku yang sering mengeluh, 'aku nggak mau kerja di salon. Kerja di salon, cape, jam kerja panjang, aku gak bisa melakukan yang aku suka.' Lalu apakah Sri Ningsih suka menjadi kuli bangunan? Apakah ia suka berkeliling menjual nasi goreng di jalanan-jalanan? Apa ia, jika boleh memilih, lebih suka menjadi supir bus daripada pemilik perusahaan besar? Ia tak memilih semua itu. Ia cuma menerima apa yang takdir berikan padanya dengan lapang dada dan melakukan bagiannya dengan kerja keras.

Kalau aku, aku yang bisa bekerja di salon meski belum bisa mencuci kepala saat pertama kali bekerja, sudah mengeluh bahwa ini bukan mauku. Mau dikemanakan mukaku jika disandingkan dengan perempuan gempal, hitam, dan pendek itu? Justru karena aku tahu ini tidak selamanya, justru karena aku tahu aku cuma tiga tahun belajar di bidang ini, harusnya aku melakukannya dengan kerja keras dan disiplin tinggi dengan yang dimiliki Sri Ningsih. Istilah kasarnya, menggeruk semua yang bisa aku ambil dan pelajari di negara banyak tenaga kerja asing Indonesia ini sampai aku tak kuat menampung lagi.

Ada satu lagi yang menegurku keras dengan cara yang lembut. Seolah-olah ia menyindirku dalam percakapannya. Untuk tidak bersedih dengan apa yang terjadi di masa lalu dan berbahagia karena ia pernah terjadi. Begitu membaca kalimat itu, aku terhenyak. Aku merindukan diriku yang makan teratur dan sehat, diriku yang memiliki jam tidur cukup, diriku yang masih rajin berolahraga, diriku yang punya hubungan baik dengan Tuhannya. Lihatlah aku yang sekarang, penuh kerendah dirian, penuh kebencian terhadap diri sendiri. Aku merindukan diriku yang lalu, berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikannya. Namun itu berarti, sama seperti memutar waktu, semua hal yang kupelajari, semua sudut pandang baru yang kudapat juga lenyap. Apakah aku rela menukarnya?

Aku selalu mengharapkan hari esok yang lebih baik. Just do the next right thing, says Anna. But, it is never been easy to me. Berusaha bertahan dengan kelakuan diri sendiri yang makin lama makin menyebalkan. Apa yang Sri Ningsih akan lakukan ketika ia membenci dengan ketidak berdayaannya? Apa yang akan ia perbuat?

Mungkin sama seperti Sri Ningsih yang kehilangan sepotong nyawanya ketika bayi-bayinya meninggal dan sepotong jiwanya ketika Hakan meninggal, aku juga harus melepaskan diriku di masa lalu. Tak apalah, ia pernah menjadi bagian dari diriku. Kini ia sudah pergi, percuma aku menahannya untuk tetap tinggal. Sama sepertinya yang menerima setiap takdir yang diberikan, sudah saatnya aku menerima diriku, jiwaku, sifatku, bentuk fisikku yang sekarang apa adanya.

Aku tak harus seperti dia yang bangun jam empat pagi dan baru tidur jam dua belas malam, tak juga harus pergi kerja paling awal dan pulang kerja paling malam tapi aku mau melakukan apa yang aku bisa semaksimal mungkin. Mungkin dengan tidak rebahan sambil scroll Youtube Shorts misalnya? Aku tak berjanji, tapi di mana ada niat, di situ aja jalan, kan?
Dari Sri Ningsih, aku belajar tentang hidup bersahaja, untuk tidak terjebak dengan masa lalu, bukan dengan melupakannya namun dengan memeluknya. Bekerja bersungguh-sungguh dengan apa yang sudah diberikan namun senantiasa belajar membuat inovasi dan mengembangkan diri.

Dari Zaman aku belajar bahwa meski zaman telah berlalu, kebenaran tetap harus dipegang erat, keadilan harus ditegakkan, dan keberanian harus dipupuk. Karena apalah harta yang dibawa sampai ke lahang liat kalau bukan kebaikan yang diberikan pada orang-orang sekitar.

Komentar

Postingan Populer