Tahun Kedua Ulang Tahun Sekolah

 


Hai, Kala di sini. Katanya, tahun kedua SMA itu tahun yang paling santuy, kegiatan ekskul dan klub lagi sibuk-sibuknya, teman-teman yang lagi rame-ramenya, dan pelajaran yany lagi santuy-santuynya, bener gak sih? Karena yang kurasakan, tahun kedua ini tahun yang membosankan, banyak ujian, banyak persiapan, konflik internal dengan diri sendiri. Jika di tahun pertama, aku bertempur dengan lingkungan yang baru, di tahun yang kedua aku bertarung dengan diri sendiri yang makin lama makin menyebalkan. Ingin kabur tak bisa, ingin bertahan pun segan.


Hari ini hari ulang tahun sekolahku. Sebagai informasi, tahun pertamaku, sekolahku pertama kalinya merayakan ulang tahun setelah dua tahun vakum karena Pandemi Corona. Tahun ketiga, sekolahku akan berulang tahun untuk ke enam puluh. Bagiku ini merupakan fakta yang menarik karena selama tiga tahun aku bersekolah di sini, aku menemani sekolahku memasuki usianya yang ke-enam puluh. Itupun kalau sekolahku masi utuh dan aku bisa menyelesaikannya sampai ke garis finish. Bagiku, kata-kataku yang seperti itu bukanlah meragukan diriku yang tak mampu melewati garis finish itu, tapi lebih ke menyiapkan skenario terburuk di masa depan supaya aku tak berekspetasi banyak.

Kelas dua, kami harus berjualan untuk memeriahkan acara sekolah. Meski penuh dengan drama pertemanan, lagi-lagi karena sifatku yang memuakkan, acara itu pun berjalan dengan baik. Udara panas siang itu dan kelas kami kebagian di ujung lapangan, jauh dari panggung pertunjukkan. Kami tak lagi tertarik dengan penampilan jurusan Performance Art. Antusiasme aku berbanding terbalik dengan tahun lalu. Melihat bagaimana satu tahun dapat mengubahku begitu banyak, aku bahkan tak mengenali diriku lagi. Diriku pada saat itu, orang yang seperti apa? Apa yang ia pikirkan pada saat berjalan menuju sekolah? Apa ikigainya saat itu? Jangankan diriku di tahun lalu, tahun ini, aku yang sekarang menulis ini, aku tak lagi mengenalinya. Kamu.. siapa?

Pagi cerah tak berawan itu, kami habiskan untuk menunduk, bersembunyi dari sinar matahari layaknya Adam dan Hawa saat ketahuan Tuhan telah memakan buah terlarang. Lain kata, usaha penuh kesia-siaan. Mengisi waktu luang, aku habiskan untuk membaca buku Tentang Kamu oleh Tere Liye. Mungkin, resensinya akan menyusul di kemudian hari. Buku lima ratus halaman itu kuhabiskan dalam dua hari. Sinar terik matahari mungkin memberikan pencerahan pada otakku yang berdebu hari ini. Perihal tujuan sebenarnya acara ini dengan diundangnya para petinggi sekolah, sponsor, dan kolega-kolega yang mendukung.

Tak lain dan tak bukan adalah untuk menaikkan pamor sekolah, jadi ajang untuk menunjukkan keberhasilan sebuah golongan maupun pribadi. Para penari yang berhadapan dengan panggung dan kami, para siswa yang cuma melihat panggungnya jelas menunjukkan untuk siapa pertunjukkan itu. Tentu saja untuk menghibur para eksekutif sekaligus menunjukkan betapa lihainya jurusan-jurusan sekolah kami.

Pidato yang katanya cuma 'a few words' itu tentu untuk membakar semangat kami para pemuda-pemudi yang sebenarnya sudah terbakar ketika mereka asyik-asyiknya duduk di panggung bertenda, menerima goodie bags seraya dibelai angin sepoi-sepoi. Bukannya salty, memangnya aku siapa merajuk seperti itu? Aku cuma menyampaikan apa yang ada di pikiranku saja.

Tapi, sejujurnya aku sendiri tak tahu mereka berceloteh apa saja dalam pidato mereka. Tak seperti pada kelas satu yang begitu cermat mendengarkan untuk dijadikan bahan tulisan, tahun ini semua ketidak acuhan itu justru menjadi bahan tulisan. Kau tahu apalagi yang lucu? Seorang pengawas di sekolah meminta kami, kelompok terakhir di barisan lapangan untuk berdiri ketika semua orang di depan kami terduduk. Untuk apa coba? Supaya kami memperhatikan mereka yang menari dan mendengarkan pidato basi mereka? Yang lebih lucu lagi, ia tak peduli jika barisan di belakang kami duduk berleha-leha sedangkan kami yang berdiri di barisan pertama harus terus berdiri menatap panggung. Lucu sekali. Dugaku, untuk menunjukkan pada para petinggi itu bahwa ada siswa pada barisan belakang yang dengan sukarela mendengarkan pidato mereka.

Tahun kedua memberikan keberanian kepada kami untuk memberikan celotehan-celotehan tak sopan pada pembawa acara. Seperti bertepuk tangan seraya bersuit keras ketika nama seorang petinggi dipanggil atau ketika kami membalas ucapan salam orator dengan asal-asalan. Semata untuk menghibur hati kami.

Bazar sekolah dan acara lomba sekolah yang mengambil jam pelajaran juga cuma pemeriah acara supaya siswa ikut aktif dengan acara sekolah. Alhasil, kegiatan KBM terganggu. Jangan salah sangka, bukan berarti aku suka masuk kelas. Tapi, kami yang sama sekali tidak kompetitif ini dengan jumlah siswa yang sedikit tentu cuma setor muka doang dalam acara beginian. Istilahnya, ngeramein doang.

Ulang tahun sekolah kali ini membuatku tersadar, sudah lama aku kehilangan gelora yang membangkitkan semangatku. Aku masuk pada periode numbness. Kali ini grafik menunjukkan pada zona keraguan dan patah semangat. Aku yang sekarang, apa ikigaiku?

Komentar

Postingan Populer