Karena Gaji aja Gak Cukup

 Hai, Kala di sini. Memasuki bulan kedua magang, tiap hari yang kuhitung adalah berapa hari lagi sampai libur berikutnya. Katanya bulan pertama itu bulan yang paling berat karena tubuh menyesuaikan dengan rutinitas baru. Yah, ada benarnya juga, sih. Benarnya itu aku mulai menerima dan menikmati badanku yang pegel-pegel tiap harinya. Yang sehabis kerja, gak bisa ngapa-ngapain lagi kecuali duduk, makan, sambil main hape. Bahkan untuk mandi sekali pun harus mengumpulkan tenaga dulu. 



Di hari libur, saking lelahnya, aku kadang cuma mau di asrama, rebahan sambil lihat Youtube Shorts. Iya, se-gak berguna itu. Lupakan belajar Mandarin dan mengembangkan hobiku yang lain. Bisa dibilang aktivitas sia-sia itu guilty pleasure-ku akan keadaan yang gak bisa kupilih tapi tetap harus kujalani. Terkadang di penghujung hari libur, aku gak bisa berhenti menyalahkan diriku sendiri mengapa tak menggunakan waktu lebih baik untuk mengembangkan diri. Tapi percuma menyalahkan diri sendiri, nyatanya besok aku harus kembali bekerja, menjalani rutinitas yang sama. Lagi dan lagi. 


Awalnya motivasiku adalah gaji yang terbilang cukup besar di Indonesia. Gaji UMR sini tiga kali lipat gaji UMR di kota besar Indonesia, loh. Untuk usiaku yang lulusan SMP dengan gaji yang lebih besar daripada lulusan sarjana di Indonesia, siapa coba yang tidak tergiur. Walau tentu saja tak bisa disama ratakan. Gaji besar berarti biaya hidup yang dikeluarkan juga lebih besar. Berbahagialah kalian yang bisa beli sayur-mayur sekantong besar cuma dengan harga lima ribu rupiah, atau es krim cone dengan harga tujuh ribu rupiah, atau makanan warteg lima belas ribu kenyang pol. Semuanya tak bisa didapatkan di Taiwan.


Makin kesini, aku makin menyadari suatu hal yang bagiku penting untuk menjadi bahan pertimbangan keputusanku di masa depan. Kalau kerja demi gaji aja gak cukup. Kelihatannya sederhana, ya but I really meant it. Aku kerja cape banget dan dilihat dari kacamata orang Indonesia, gajinya tinggi. Aku bisa beli barang yang aku mau pake uangku sendiri. Aku bangga, senang, dan merasa sebuah pencapaian bagi diriku sendiri. Sehabis itu? Rasa senangnya cuma tinggal sesaat bagai asap di udara. Sebelum ia kembali melebur bersama rutinitas bekerja dan rasa manis itu seolah tak pernah ada. 


Apa itu, apa itu hidup yang kamu ingin terus jalani?  Sekarang aku dengan tegas mengatakan, nggak, tidak, bukan itu hidup yang saya ingin jalani sepanjang hidup saya.   Aku tahu tiap pekerjaan punya bebannya masing-masing, aku tahu aku baru terjun ke lapangan pekerjaan ini dan bisa dibilang, terlalu pagi buatku untuk mengeluh. Aku tahu, aku tahu, tapi aku gak bisa berhenti mengabaikan apa kata hatiku.


Hatiku bilang, melakukan suatu hal cuma untuk gaji aja adalah pemikiran dangkal yang gak akan bisa bertahan lama. Mengingat kembali film Soul yang kutonton, seseorang harus punya spark untuk menghidupi purpose yang ia punya di dunia ini. Aku tahu aku punya spark pada bidang tata rambut, walaupun that spark is lead by curiosity and fun only. For now, that spark is not enough to make me stick to the job till years, but I suppose it's already enough just to living day by day until I finish my study here. Dan lebih daripada sekadar fun, what drives me more is a desire to learn more about hairstyling. Just to remember this thing, it gives me strength to overpower that weariness. Bye, Kala ke luar. 

Komentar

Postingan Populer