Bukannya Suka, Tapi Emang Gak Ada Pilihan Lain Aja
Hai, kala di sini. Memulai kembali periode magangku berarti mempertanyakan kembali arah masa depan. Dari awal, tata rambut bukanlah ketertarikkanku. Kawan yang sudah kenal baik denganku bahkan mentertawakan keputusanku masuk jurusan ini. Pokoknya bukan Kala banget, deh. Sama seperti salah seorang hairstylist yang kebetulan tinggal dengan kami di kamar asrama.
Aku dan teman sekamarku yang lain sempat berbincang dengannya. Darinya kami tahu bahwa tata rambut juga bukan passion awalnya. Meski begitu banyak pelanggan salon yang memilihnya untuk jadi hair stylist mereka. Di toko kami, ia lah pemegang gaji tertinggi di antara para hair stylist lain. Jadi, jangan diragukan lagi keahliannya dalam menata rambut dan merebut hati para pelanggan.
Dari cerita itu. Aku jadi terpikir, di dunia ini, sedikit sekali orang yang tahu apa passion mereka, berjuang teras menghidupi diri dan passion itu, dan berakhir sukses. Nyatanya, di usia ku yang sudah mulai harus memikirkan masa depan, aku bahkan tak tahu aku mau jadi apa. Begitu juga dengan teman-temanku yang lain. Dari situ aku jadi menyadari bahwa tidak apa-apa untuk tidak tahu mau jadi apa, tidak apa-apa tidak punya cita-cita, dan segudang tidak apa-apa lainnya. Karena itu wajar dan bukanlah suatu hal yang layak menjadi beban pikiran.
Karena pada akhirnya yang harus kita lakukan adalah menjalani apa yang ada di depan mata dengan sebaik mungkin. Kedengarannya aku bukan orang yang tepat untuk mengatakan ini, aku saja belum jadi apa apa saat ini. Tapi yang mau kukatakan adalah di dunia di mana kelihatannya ada banyak kesempatan untuk diambil, tak semuanya bisa kita dapatkan dengan cuma-cuma.
Ada beberapa yang sudah kita perjuangkan setengah jalan lalu gagal begitu saja. Ada juga yang baru muncul tepat ketika kita sedang menjalani pilihan lain yang lain, yang lain tak memihak pada situasi dan kondisi kita. Bisa jadi karena faktor ekonomi, waktu persiapan yang tak cukup atau bisa jadi juga, faktor otak yang tak mendukung misalnya. Aku lagi ngomongin beasiswa bergengsi yang cuma menghabiskan waktuku saja berusaha untuk meraihnya
Kalian bilang, aku skeptis atau mungkin saja seseorang yang sudah kalah sebelum berperang. Kalian lalu menambahkan kalau mimpi itu harus setinggi-tingginya supaya ketika jatuh, kamu jatuh di antara para bintang di langit sana. Tak cukup sampai di sana, kalian mulai membanding-bandingkan dengan mereka yang tak hanya berani bermimpi tapi juga berani untuk mencucurkan darah, keringat, dan air mata untuk meraihnya.
Tak dapat kupungkiri, ucapan kalian mungkin ada benarnya juga. Mungkin aku yang terlalu pengecut tak mau berjuang extra miles sama seperti mereka yang rela mengorbankan waktu tidur dan istirahat mereka untur belajar. Bisa dibilang, aku telah dihantam kerasnya realitas dunia bahkan sebelum aku bermimpi. Sehingga aku lebih memilih yang pasti-pasti saja dulu. Sekolah sambil menghasilkan uang misalnya.
Aku sadar diri, dengan privilese yang kupunya, akan ada terlalu banyak air mata yang keluar dalam perjalanan menggapai mimpi yang tak realitas itu. Tak hanya air mataku, tapi mungkin juga air mata kedua orang tuaku. Tentu saja kedatanganku ke Taiwan bukan berarti tak mencucurkan air mata dari kedua belah pihak. Tapi aku ada dalam kesimpulan bahwa ini adalah pilihan terbaikku saat ini. Pilihan ini adalah jumlah tetesan air mata minimal yang bisa keluar.
Jadi kesimpulannya, ya dunia ini menawarkan banyak pilihan, tapı tak semua orang punya sumber daya untuk merealisasikan pilihan itu. Kebanyakan dari mereka (aku salah satunya) tak punya pilihan lain selain memilih satu dari dua atau tiga pilihan yang ada di jangkauan kemampuan usahaku.
Bagi kalian yang sedang bermimpi setinggi-tingginya dan sedang dalam perjalanan meraihnya, selamat karena sudah berani memulai langkah berani untuk memulainya, sesuatu yang tidak kupunya. Dan semangat karena perjalanan kalian pasti tak akan mudah dan akan ada banyak rintangan dan godaan untuk menyerah ke depannya. Aku sendiri di sini akan berjuang semaksimal mungkin untuk menggunakan waktu tiga tahun in dengan sebaik mungkin Alias berjuang untuk mencari alasan bertahan di sini dan mengusir pikiran penyesalan yang kadang muncul bagai duri dalam daging. Biarlah aku dengan pilihan pengecutku.
(−3-)
Aku benci mengatakan ini, seolah-olah aku seperti merendah untuk mengatakan Kalau aku benar dan kalian terlalu naif. Tapi aku begini, karena aku tahu untuk mengejar cita-citaku yang kuinginkan, itu akan menjadikanku anak yang egois. Yang cuma berani bermimpi tanpa meng- acknowledge keadaan keluarga dan lingkungan sekitar ku Akan lebih baik kalau aku percaya pada diriku sendiri seperti Aini percaya pada cita-citanya menjadi seorang dokter. Sayangnya aku tak punya banyak kepercayaan diri.
Jadi aku memutuskan daripada mengorbankan material untuk menunjang cita-cita yang sebatas ada dalam lubuk hati tanpa berani mengambil langkah nyata, lebih baik aku mengambil (aku sedang menjalani) pilihan yang ada di depan mataku saja. Karena sejujurnya, aku memang tak ada pilihan lain.
Komentar
Posting Komentar