Lembaran Baru: Magang

 

Hai Kala di sini. Menulis untukmu dari atas kursi bus yang akan membawaku ke kota tempat magang, Hsinchu. Perjalanan ke tempat magang selalu menghadirkan sepercik rasa aneh yang membumbui hati. Rasa ini entah namanya tidak sabar, khawatir, atau antisipasi. Atau mungkin juga gabungan dari ketiganya menciptakan asap masakan yang menyesakkan dada.

Karena nyatanya, magang di usia yang seharusnya belum mengenal kerasnya dunia, punya beban tersendiri yang harus kupikul. Aku seperti ditenggelamkan di lautan untuk merasakan sendiri kencangnya arus ombak yang menerpa tubuh. Terkadang arus ombak itu begitu kencang, menusuk-nusuk tubuh dan aku kesulitan untuk berdiri di atas kedua kakiku. Tidak jarang juga aku terseret mundur ketika arus ombak berlawanan dengan tujuanku. 

Kedua tangan yang biasanya dipegang erat-erat oleh kedua orang tuaku kini cuma bisa kurasakan dalam andaian malam hari. Cerita pengantar tidurku hanyalah obrolan ringan aktivitas sepanjang hari kami. Bahkan hangat peluk yang kurasakan, hanya terlihat dari emot dan stiker Whatsapp. Human is always like that. Realizing how precious it was when we already lose it. 

Diriku di masa lalu pasti tertawa keheranan kalau kubilang aku rindu pada tanah kelahiranku dan orang-orang yang tinggal di dalamnya. Suatu saat nanti, ketika semua ini telah selesai, aku pasti akan rindu juga dengan tanah perantauan pertamaku. Tapi sekarang memang bukan waktunya untuk bermenye-menye, karena seberapa banyak air mata yang mengalir, tak akan mengubah fakta bahwa masih ada perjuangan yang harus kuselesaikan di sini. 

Arus ombak nyatanya tak selalu seganas itu. Ada masanya ia membawaku lebih dekat pada tujuanku, bahkan ketika aku tak berjuang untuk mendapatkannya. Take it for granted. Terkadang ada mereka yang tak kukenal mengulurkan tangannya kepadaku bahkan sebelum aku meminta. Hidup itu.. ya penuh kejutan dan setiap harinya adalah satu hari berharga untuk disyukuri. (Kaohsiung, 31 Mei 2022)

Playlist Recommendation: Let Her Go by Passenger