Dibalik Sepucuk Surat

 

Sedari kecil, aku sudah diajari frasa 'kalau malu bertanya, bisa sesat di jalan'. Kanala kecil yang agak lama dalam berpikir (a.k.a bodoh) hampir tak pernah menggubris pepatah ini. Itu karena setiap hari aku lewat jalan yang sama untuk pergi ke sekolah lalu tinggal di rumah pada akhir minggu.

Kalau dipikir-pikir sekarang, dulu maupun sekarang rutinitasku menyedihkan sekali, ya? Aku ingin bebas tapi aku selalu mencari alasan untuk tetap tinggal di rumah. Aku ingin menjelajah tapi aku selalu khawatir pada suatu hal yang hanya terjadi di film-film saja. 

Oleh karena itu, untuk pertama kalinya aku memberanikan diri untuk bertanya. Merendahkan diri untuk bertanya pada seseorang yang memiliki kepercayaan diri tinggi itu susah. Hal itu akan membuatnya merasa lebih tinggi daripada orang lain. Celakanya, ia bisa jadi memandang rendah pada orang lain.

Tapi aku tak punya pilihan lain. Kalau ada seseorang yang tahu betul seluk-beluk Neverland seperti ia mengenal telapak tangannya sendiri, orang itu adalah Peter Pan. Tahu tidak satu hal yang kupelajari tentang Peter Pan? Ia tidak memiliki ibu untuk memujinya ketika ia dapat menata mainannya yang berserakkan. Untuk kasus ini, menata kembali pikirannya.   

Peter Pan itu suka dipuji. Ia tak pernah mendapatkan pujian yang layak. Tidak juga dari para Lost Boys. Jika.. Jika saja pada saat itu ia mendengar pujian dari kedua orang tuanya, apakah ia akan tetap memutuskan untuk pergi? Atau justru jadi lebih berani menghadapi versi dewasanya? 

Tapi untuk alasan itulah aku memutuskan untuk flattering him even more. Kau harus mengambil hatinya sebelum kau meminta sesuatu, kan? I just think this is how the world works. Jadi aku harap Pan sedikit bodoh dan mengabaikan pujianku yang kentara sekali berlebihannya. Mau bagaimanapun, ia masih anak-anak. Ia tak akan mengerti. Ia tak akan berprasangka buruk. Ya, pasti begitu.

Selesai menulis surat, kudongakkan kepala menghadap jendela. Tanpa kusadari matahari telah terbenam dan langit mulai menggelap. Warnanya kemerahan bercampur biru. Pekat. Rasanya sesak walau aku tahu langit begitu luas. Seperti terkurung di sebuah ruangan kedap udara. Tak jelas siapa yang kecil sekarang, tubuhku atau langit yang menjelma ruangan?

Aku masukkan surat tersebut ke dalam sebuah amplop lusuh. Amplop yang baru saja aku temukan terselip di antara lembaran-lembaran kertas lama. Sudah kecokelatan dan lecek tapi tak apa. Ia masih dapat digunakan sesuai fungsinya.

Surat ini tak seperti kebanyakan surat lain. Ia tak memiliki perangko dan tak ada nama penerima. Hal itu dikarenakan satu-satunya orang yang akan mengambil surat ini cuma Peter Pan. Atau setidaknya itulah yang aku pikirkan. Setelah kupastikan amplopku sudah tertutup rapat, aku menunggu. Menunggu sampai tengah malam.

Waktu berjalan lebih lambat lagi tapi aku tetap di posisiku yang semula. Otot-otot tubuhku mulai berteriak memintaku mengubah posisi duduk tapi ada sesuatu yang memaksaku untuk tetap diam. Ia tak membiarkan tubuhku bergerak satu sentimeter sekalipun. Ada ketegasan yang tak pernah kutemui sebelumnya.

Mendekati tengah malam, kulipat amplop surat yang relatif lebih tipis daripada surat kebanyakan menjadi beberapa lipatan. Aku mencoba untuk mengingat cara melipatnya menjadi pesawat terbang. Itu hal pertama yang seseorang ajari kepadaku. Siapa? Aku sudah tak mampu mengingatnya lagi.

Semakin besar semakin kau menyadari kenangan masa kecilmu mulai pudar dan hanya menjadi kepingan-kepingan peristiwa yang tak dapat dirangkai menjadi satu cerita utuh. Kurasa itulah salah satu alasannya aku tak mau menunggu sampai hari ulang tahunku tiba. Aku akan lebih senang ketika aku sama sekali lupa kapan aku berulang tahun.

Pesawat terbang itupun akhirnya jadi juga. Aku menarik napas dalam. Menatap langit gelap jauh, jauh ke atas. Berharap salah satu bintangnya adalah Neverland. Kulayangkan lenganku sekeras yang aku bisa, berharap memberikan energi lebih bagi pesawat terbangku untuk meluncur ke atas. Tak sampai satu menit, pesawat terbangku hilang ditelan langit malam. Atau mungkin ia masih di sana tapi terlalu jauh bagi jangkauan mata minusku. Tak apa.

Sekarang, tunggu. Aktivitas sederhana namun menyebalkan. Tunggu.


Komentar

Postingan Populer