Ketika Ponsel Generasi-Z Mati Total
Hai, Kala di sini. Dibandingkan dengan adik perempuanku, aku berani bilang aku orang yang apik dalam urusan menjaga barang. Ketika ia sudah mengganti ponselnya untuk yang kedua kali, entah karena layar pecah atau kecemplung di toilet, aku masih setia dengan ponsel yang sekarang kugunakan. Hingga pada suatu sore yang cerah, ketika aku sedang berkencan berduaan dengan ponselku, aku melupakan suatu hal yang penting. Aku lupa kalau satu-satunya makanan yang ia perlukan adalah listrik yang tersambung oleh kabel. Mungkin karena terlalu lama menghabiskan waktu bersamanya, apalagi intensitas sentuhan kami meningkat selama aku dikarantina, aku memberinya air minum teh.
Iya, minum teh. Sejujurnya, dibandingkan amnesiaku tentang pengetahuan dasar menggunakan ponsel, tragedi air teh lebih disebabkan karena aku yang terlalu ceroboh. Dan bodoh. Tentu saja aku tak akan menceritakan kronologis lengkapnya (siapa juga yang mau pamerin kebodohan sendiri). Tapi, inilah yang kurasakan setelah dua hari tidak kontak dengan ponselku. Singkat kata, aku lagi digantung olehnya. Hubungan kami belum resmi putus namun dari hari ke hari terlihat semakin suram. Apakah aku terlalu bodoh mengharapkannya kembali meski dengan cacat fisik? Atau sudah saatnya aku memalingkan wajah dan memulai hubungan baru dengan ponsel yang baru?
Aku yang membuat kiasan ponsel sebagai pacar justru terlihat mengenaskan sekali, bukan? Dan juga sedikit geli. Aku sendiri pun merasa begitu. Tentu rasa penyesalan itu ada dan membekas di lubuk hati. Entah berapa kali aku mengulang kembali peristiwa tersebut di dalam benakku, berharap aku yang dulu tidak terlalu bodoh. Tapi dibandingkan penyesalan itu, aku lebih merasa kesal pada diriku yang baru menyadari bertapa bergantungnya aku pada layar persegi hitam itu.
Melihat kilas balik hidupku yang masih singkat ini, aku pertama kali dikenalkan dengan teknologi ponsel ketika menginjak bangku Sekolah Dasar. Tidak sama dengan mereka yang lahir setelahnya, yang sudah dikenalkan dengan gadget semenjak memakai seragam Taman Kanak-Kanak. Mulai di Sekolah Menengah Pertama, intensitas pemakaian ponselku meningkat. Apalagi ponsel sudah digunakan untuk proses pembelajaran. Aku ingat, sekolahku bahkan sudah mulai menggunakan teknologi ulangan paperless meski masih harus hadir di kelas. Ini beberapa tahun sebelum pandemi yang belum usai ini memperkenalkan dirinya.
Tak usah menyinggung Proses Pembelajaran Jarak Jauh yang membuat minusku bertambah, aku semakin lama semakin sering menyentuh layar ponsel. Pada saat itu, screen time ku berada di rata-rata delapan jam. Apakah ini lebih baik dibanding teman-teman seangkatanku? Aku tak tahu. Tapi pada saat itu, aku merasa durasi pemakaian ponselku terlalu intens dan pernah mencoba juga untuk menguranginya. Entah dengan memakai timer untuk tiap aplikasi atau bahkan sengaja menyembunyikan ponselku agar aku tidak menggunakan sama sekali. Hasilnya? Sudah dipastikan gagal. Mungkin pada hari-hari tertentu aku bisa mengurangi setengah dari rata-rata per hariku. Tapi aku tidak berbangga dengan pencapaianku yang masih bisa dihitung pakai jari. Karena goalku menjadi terbiasa tanpa menggunakan ponsel.
Aku selalu bertanya-tanya bagaimana orang tuaku atau lebih jauh dari itu, orang pada zaman dahulu hidup tanpa teknologi. Tentu aku tak seambisius itu untuk menghilangkan teknologi yang memudahkan keseharian umat manusia dari kamus hidupku. Tapi, jika saja aku bisa merasakan siang hari yang berjalan lambat sekali, menatap awan yang bergerak pelan di langit, atau erangan kebosanan gak tau mau ngapain, itu saja sudah cukup bagiku. Tak kusangka, permohonan anehku dikabulkan meski dengan cara yang ekstrim. Membuat ponselku mati total.
Dengan begitu, aku tak usah lagi menahan diri untuk tak mengobrak-abrik lemari baju untuk mencari ponsel yang sengaja kusembunyikan. Aku tak usah lagi merasa diriku tak berharga karena gagal mencapai tujuanku. Tapi, baru pada hari kedua inilah aku baru merasakan ada harga yang harus dibayar mahal untuk mengabulkan permintaanku. Permasalahan yang utama bersangkutan dengan natur dasar manusia, sebagai mahkluk sosial. Seperti yang kita semua tahu, teknologi sekarang benar-benar menjadi alat untuk berkomunikasi dan bersosialisasi di dunia maya. Aku berani bilang, kita lebih sering menghabiskan waktu untuk bersosialisasi di dunia maya dibandingkan di dunia nyata. Apalagi ditambah dengan keterbatasan ruang gerak kita.
Ironis tapi itulah kenyataannya. Meski aku dikarantina bersama dua teman sekamarku. Jumlah kalimat yang kuucapkan pada mereka dapat dihitung oleh jari tanganku. Selebihnya, kami sibuk dengan urusan kami masing-masing. Malahan aku lebih sering ngobrol dengan kedua orang tua dan teman-temanku di Indonesia, daripada teman yang bisa kurasakan langsung kehadirannya. Aku termasuk beruntung karena masih memiliki laptop untuk berkomunikasi dengan mereka yang jauh di sana, meski terbatas dan belum terbiasa sama sekali. Mau gimana, video call aja harus pake google meet kaya orang mau rapat, hiks.
Tapi, aku dapat menikmati sisi positifnya. Mungkin tak semua orang menganggap ini sisi positif, tapi bagiku sendiri ada hikmah yang bisa kupetik dari kejadian ini. Aku punya banyak waktu untuk gerutuan dan erangan gak tahu mau ngapain, lebih banyak bengong entah menatap dinding kamar atau lorong sekolah. Kenapa positif? Karena kreativitas lahir dari rasa kebosanan. Jujur ya, aku lebih banyak melakukan to do listku daripada ketika aku memiliki ponsel yang seharusnya menunjang proses pembelajaranku. Welp! Dan yang paling penting, gak ada ponsel sebelum tidur! Pokoknya, selama karantina ini, aku ingin memperbaiki kualitas tidurku dulu.
Sesungguhnya, aku merasa tertantang untuk melihat seberapa jauh aku bisa hidup tanpa handphone. Tapi memang tak dipungkiri, ponsel memegang peranan penting dalam hidup kita. Karena meski diri ini bisa 'memaksakan diri' untuk terbiasa, tak semua orang bisa menerima keputusanku. Coba bayangkan betapa sulitnya orang lain untuk menghubungiku, dan lagi.. ponsel menjadi salah satu survival tools hidup di negara orang, tahu!
Komentar
Posting Komentar