Aku yang Terlalu Banyak Mengeluh

 Hai, Kala di sini. Meskipun Kaohsiung sudah memasuki musim semi, entah kenapa, akhir-akhir ini hujan turun lumayan sering dan deras. Aku yang emang anak rumahan (sekarang jadi anak kosan, sih) memutuskan untuk nonton sebuah film dokumentari berdurasi empat puluh menit. Poster yang menggugah mata menjadi salah satu alasan aku menonton. Setelah membaca sinopsisnya dan menyelam sendiri ke dalam filmnya, aku memutuskan untuk menuangkan pikiranku ke dalam tulisan. Bukan sebagai resensi, tapi sebagai perenungan untuk diri sendiri. Jadi ketika suatu hari diriku yang sudah lebih dewasa ini melihat realitanya langsung, ia bisa membandingkan dirinya dan aku. 


Sedari aku kecil, aku telah hidup di kota besar. Hiruk pikuk jalanan sudah menjadi makanan sehari-hari. Suara bising klakson telah menjadi sebuah irama dalam gendang telingaku. Dan bangungan pencakar langit tak membuatku mendongakkan kepala untuk mencari puncak tertingginya. Yang aku tahu adalah, aku ingin menyatu dengan alam. Merasakan gemerisik angin yang menyapu wajah, menari-nari bersama tiap helaian rambut yang tertiup. Atau kaki yang menyentuh tanah becek, berlari mengejar seekor kelinci yang terus menatap jam tangannya. Menatap pegunungan yang menghiasi langit yang biru bagai coretan kuas pada kanvas putih.

Mengambil latar tempat di dataran Tibet, 'Tashi and the Monk' bercerita tentang seorang biksu yang mendirikan sebuah komunitas, tempat bagi anak-anak yang ditelantarkan. Tokoh utama kita, Tashi, menjadi anak paling kecil di komunitas tersebut. Tak hanya menjadi anak bungsu, ia juga menjadi anak paling nakal, paling susah diatur, dan paling sendirian. Dokumentari singkat ini juga bercerita tentang berbagai kesulitan yang dihadapi oleh Lobsang Phuntsok, pendiri komunitas ini. Berada di dalam dilema ketika banyak orang memohon kepadanya untuk mengambil anak mereka, cucu mereka masuk ke dalam komunitas ini. 

Nyatanya, hidup berdampingan dengan alam mengajarkan kita untuk bekerja keras. Belajar pasrah ketika alam memutuskan untuk mengajak pergi mereka yang kita sayangi. Banyak anak-anak yang ditampung oleh Lobsang adalah mereka yang orang tuanya tak mampu lagi mengurus dan membesarkan mereka. Entah karena masalah finansial atau karena kecelakaan yang menimpa kedua orang tuanya. Mengatakan 'ya' kepada mereka berarti berkomitmen untuk membesarkan dan mendidik anak-anak mereka dengan sebaiknya. Bertanggung jawab penuh atas hidup dan masa depan mereka. Tapi, mengatakan 'tidak' berarti membiarkan satu anak lagi mati.

Ia tahu, ia tak boleh egois. Dengan keterbatasan ruang dan guru yang kompeten, ia tak bisa menambah anak-anak lain lagi. Karena menambah satu anak lagi berarti mengurangi perhatian yang bisa diberikan kepada mereka yang lain. 'Tashi and the Monk' tidak hanya menyuguhkan pemandangan Tibet yang masih asri atau tawa anak-anak polos. Ia juga menyuguhkan kenyataan pedih yang membuatku malu dengan diriku sendiri. Aku adalah seorang anak yang beruntung dibandingkan mereka yang tinggal di sana. Aku punya kedua orang tua yang hanya kubagi dengan adikku seorang. Mereka hanya punya seorang ayah yang harus dibagi dengan puluhan anak lainnya. Kamar asramaku hanya ditinggali oleh empat orang dan aku masih mengeluh betapa sedikitnya privasi yang kupunya. Mereka, tinggal dalam satu ruangan besar dan terkadang harus berbagi satu ranjang pula. 

Setelah mengetahui realita pahit ini, mimpiku untuk tinggal di pedesaan masih tidak berubah. Tapi aku jadi semakin termotivasi untuk belajar lebih rajin, menggunakan setiap fasilitas yang kupunya untuk mengasah pengetahuan dan keterampilanku. Supaya suatu saat nanti, aku juga bisa membantu mereka yang tak punya keistimewaan seperti yang kumiliki sekarang. (Kaohsiung, 14 Mei 2022)


Komentar

Postingan Populer