Muram Musim Semi di Juguang Park (莒光公園)
Hai, Kala di sini. Meski cuaca sering tidak menentu dan sering turun hujan, bunga sakura tetap mulai bermekaran dengan indahnya. Tempo hari, ketika sedang libur magang, aku bersama seorang kakak kelas pergi ke sebuah taman dekat tempat magang.
Matahari bersinar dengan teriknya, aku sampai menyesal karena memakai sweater lengan panjang berwarna hitam. Sesuatu yang nanti kusadari menjadi sebuah penyesalan yang sia-sia. Singkat kata, kami tiba di taman yang dituju. Ternyata, tak cuma kami yang hendak melihat bunga sakura, sekelompok orang paruh baya juga memanfaatkan kesempatan ini untuk berfoto ria.
Nyatanya emak-emak yang terkenal dengan hobinya memotret tak cuma dijumpai di Indonesia saja, di Taiwan pun peristiwa ini dengan mudah dijumpai. Ada yang berkelompok bersama para ibu lain, ada juga yang datang solo sembari membawa tripod. Satu-dua orang bahkan datang bersama para suami dan seperti biasa, sang suami seketika menjadi fotografer dadakan bagi sang istri.
Bisa dibilang, kami berdua menjadi orang paling muda di kerumunan tersebut. Bagaimana tidak? Di siang bolong pada hari kerja, di mana seharusnya anak-anak seumuran kami belajar, kami malah 'bolos' ke taman. Terkadang aku merasa miris dan merindukan kehidupan lamaku sebagai full time pelajar. Tapi seringnya, aku bersyukur karena bisa merasakan angin musim semi yang dingin.
Sesungguhnya, aku merasa canggung jalan berdua dengan kakak kelasku. Meski pergi ke tempat magang yang sama dan tidur di kamar yang sama, aku tetap merasakan dinding pembatas tak terlihat. Pada dasarnya, aku memang lebih suka menjelajahi tempat sendirian. Karena meski tujuan kami sama, belum tentu motivasi kami sama.
Kebanyakan teman yang kukenal pergi untuk mengambil foto, menguploadnya di insta story, lalu pulang. Gak percaya? Aku pernah pergi dengan teman seangkatanku - jauh-jauh naik sepeda - dan ia hanya minta ditunjukkan spot foto yang keren, mengambil empat foto untuk dibuat kolase di insta story lalu pulang. Mau tahu luas taman tempat kami pergi? 47 hektar! Bahkan waktu perjalanan kami pergi sepuluh kali lebih lama daripada waktu kami di taman tersebut.
Jujur saja, melihat kelakuannya aku cuma bisa geleng-geleng kepala speechless. Sama seperti peran suami bagi ibu-ibu tadi, aku menawarkan diri untuk menjadi fotografer. Kapan lagi kan, bisa memegang handphone dengan lambang apel tergigit dan mencoba kameranya yang terkenal bagus itu. Harus kuakui, kakak kelasku itu bak model dalam berpose. Dalam satu spot foto, ia bisa bergaya dua sampai tiga pose dan setiap spot foto memiliki gaya yang berbeda-beda. Empat jempol untuknya!
Setelah ia puas, aku membiarkannya memilih puluhan foto yang barusan dijepret dan berjalan-jalan mengelilingi taman. Tak lupa, mencoba berbagai peralatan olahraga di sana. Selagi main-main, aku memperhatikan lingkungan sekelilingku. Seperti kedua bapak-bapak yang sedang bercakap-cakap ini.
Atau, pria paruh baya dengan kameranya yang panjang layaknya hidung Pinocchio.
Sayang, aku tak sempat menghabiska waktu lebih lama di sana. Karena angin rupanya tak cuma mau menyapa helai rambutku, ia juga membawa awan gelap yang mengakibatkan tetesan hujan jatuh ke bumi. Seketika, sinar matahari barusan tenggelam ditutupi awan. Sudah tak ada bising percakapan orang. Yang ada hanya gemerisik dahan pohon sakura yang bergoyang pelan. Seolah menikmati angin yang berhembus dan tetesan air yang membasahi bunga yang belum mekar sempurna.
Kakak kelasku pamit duluan, meninggalkanku dengan keheningan dan kemuraman yang melanda layaknya deburan ombak di pantai.
Bunga sakura bermekaran
Namun indahnya tetap
Tak menghangatkan
Langit yang meratap
Yah, lamun tubuh tiis tinggal inum téh anget
Lamun hati tiis, ditangkeup weh
-Kala (21 Februari 2022)
Komentar
Posting Komentar