Perang: Memahami Manusia jika diberi Kekuasaan
Cerita mengenai Pandawa dan dunianya selalu membuatku penasaran. Sampai akhirnya aku menemukan buku Perang oleh Putu Wijaya di perpustakaan sekolah ketika hendak meminjam buku pelajaran. Langsung saja kubawa pulang buku sebanyak 384 halaman ke rumah. Aku butuh waktu lumayan panjang untuk menghabiskan buku ini karena aku memang tipe orang yang menelan sedikit-dikit amanah apa yang bisa dipetik dari sebuah buku.
Buku Perang ini membawaku pada suatu kesimpulan apa yang menjadi kriteria sebuah buku yang tak hanya bagus, tapi juga bermanfaat. Di halaman awalnya, kita sudah bisa mendapatkan pesan yang bisa diterapkan dikehidupan sehari-hari, tak lupa dengan unsur komedinya yang segar. Buku ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu ‘musuh’ dan ‘goro-goro’. Yang terakhir merupakan babak dalam pagelaran wayang yang tokoh utamanya berisi para punakawan disertai dengan humor segar. Ditunjukkan dengan yang salah dikatakan benar, yang benar dikatakan salah.
Di ‘musuh’, aku belajar mengenai manusia yang diberi kekuasaan. Sebenarnya, siapakah musuh kita? Apakah seseorang yang berbuat tidak adil pada kita, orang yang berkuasa atas diri kita, atau diri kita sendiri? Di sini kita bisa melihat apa akibat dari melawan kekuasaan itu sendiri, bukan orang yang memilikinya tapi bentuk kekuasaannya sendiri. Aku menikmati peran Bagong, Petruk, dan Gareng sebagai perlambang anak muda yang mempertanyakan dan melawan kekuasaan. Aku sedikitnya jadi belajar intrik politik antara Pandawa, Korawa, dan para dewa di kayangan. Bahwa sebenarnya para penguasa lah yang memainkan game untuk kepentingan golongan maupun negara dan seperti biasa, rakyat cuma jadi pion yang tak tahu apa-apa.
Di ‘goro-goro’, permasalahan yang diangkat merupakan permasalahan sehari-hari yang sering ditemui di kehidupan nyata. Aku dapat merasakan sebuah sindiran halus pada kehidupan sosial masa kini. Contohnya saja westernisasi yang marak terjadi dan mengubah susunan sosial di masyarakat, khususnya di pedesaan. Ada juga contoh seseorang saat proses pendewasaan, seperti Gareng yang peduli pada permasalahan di sekitarnya, atau Petruk yang menyadari hakikat kehidupan. Aku suka sekali cara Semar menyelesaikan permasalahan Petruk -yang berencana mengakhiri hidupnya- dengan tenang dan menggunakan akal sehat. Kebanyakan orang menjadi panik dan tidak bisa berargumentasi dengan rasional.
Meski begitu, ‘manusianya’ Semar juga ditunjukkan sebanyak kebijaksanaannya. Atau ketika Yudistira mencurahkan perasaannya pada sajak-sajak puisi. Di goro-goro ini baru ditunjukkan peran Ki Dalang dalam jalannya cerita, ini semua seakan menyadarkan aku kalau kehidupan manusia itu seperti sebuah pion yang digerakkan oleh sang Mahakuasa. Bahwa meskipun kita terlihat memegang kuasa penuh atas diri kita, kita sebenarnya tak memberikan banyak sumbangan atas hidup kita. Atau benarkah begitu?
Aku sangat menikmati cerita yang disuguhkan kecuali bab kedua dari akhir, itupun karena aku sejujurnya tak begitu mengerti apa maksud yang mau disampaikan oleh penulis. Mungkin ketika aku lebih dewasa sedikit, aku mungkin akan mengerti. Aku tak sabar untuk membaca buku lain dari Putu Wijaya. Sama seperti di bukunya, tulisan ini juga diakhiri oleh sebuah kalimat yang membuatku sedikit over-thinking,
“Kecuali kalau ada jaminan lakon tidak akan melanggar pakem.”
Komentar
Posting Komentar