Sedikit Cerita Medical Checkup 2021
Untuk melengkapi kebutuhan visa, kemarin Kamis aku pergi ke Rumah Sakit Borromeus untuk Medical Checkup. Begitu masuk, kami langsung bertanya ke salah satu suster berbaju terusan biru mengenai pemeriksaan yang akan aku jalani. Ia rupanya salah mengerti, karena tak jauh dari kami ada sekelompok laki-laki dewasa yang akan pergi ke Taiwan juga. Ia mengira kami adalah bagian dari kelompok itu.
Begitu kesalah pahaman diluruskan, aku dan satu gadis lainnnya mulai mengisi identitas diri. Perempuan ini ternyata baru saja lulus SMA dan hendak melanjutkan studi ke Taiwan. Sontak saja kami jadi seperti kawan akrab yang tak dapat dipisahkan. Sama-sama mengangguk kalau disuruh dan berjalan beriringan kemana-mana.
Identitas diri
Setelah mengisi identitas diri, kami masuk ke salah satu ruangan untuk memeriksa kesehatan dasar, seperti tekanan darah, tinggi dan berat badan. A great amount of our blood juga diambil. Aku bilang great padahal gak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan kantung donor darah. Perempuan yang lebih tua dua tahun dariku ini, bertanya dengan nada tidak percaya. Ia seolah kaget ketika melihatku diambil darahnya. Kupikir mungkin ia tidak terbiasa disuntik. Bukan berarti aku terbiasa, tapi aku merasa biasa saja.
Hal detail yang aku perhatikan juga adalah setiap informasi kesehatan kami diambil, suster di sana selalu memastikan nama kami terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir terjadinya kesalahan data akibat tertukarnya informasi. Begitu selesai, aku keluar ruangan dan duduk di tempat kelompok laki-laki dewasa itu duduk tadi. Oh ya, sebelum itu, kami juga diberi sebuah botol kecil yang nanti harus diisi oleh feses.
Kaget ngga, ya kaget lah masa ngga! Karena waktu kemarin aku chat pihak Borromeus untuk bertanya apa-apa saja yang harus disiapkan, tak ada sekalipun nama feses tersebut. Lebih paniknya karena mau sebanyak apapun aku makan, ngga pernah aku BAB dua kali. Terus, gimana dong? Dengan rasa cemas masih menggantung, aku harus tetap melanjutkan pemeriksaan.
Pemeriksaan Thorax
Selanjutnya kami pergi ke ruangan lain, agak jauh kali ini, untuk pemeriksaan thorax. Sebenarnya pemeriksaan ini pernah aku lakukan dua tahun lalu ketika sakit tipes. Saat itu aku harus mengambil napas ekstra ketika makan sehingga dokter memutuskan supaya paru-paruku diperiksa juga. Intinya, aku harus melepas baju, bra, dan kalung kemudian ganti ke baju terusan berwarna hijau yang sering dijumpai di meja operasi. Instruksinya sederhana, tangan disimpan dibelakang seperti ketika istirahat di tempat, grak (bacanya pake nada pas upacara ya :v). Dada dicondongkan ke depan sampai benar-benar menyentuk permukaan. Permukaan apa, aku juga gak tahu. Permukaan ini nanti menyambung ke sebuah laser yang dipakai untuk mengambil foto.
Begitu selesai, aku sendirian kembali ke ruangan tempat menunggu tadi. Sebelumnya aku dan kakak kelas tadi didampingi seorang suster. Aku yang buta arah, gak kaget lagi kalau tersesat saat pulang. Udah jadi kebiasaan cuy. Setelah itu menunggu lagi. Kali ini kami duduk bersama kelompok yang berbeda, mungkin. Aku pun tak tahu pasti. Tapi kali ini, kami bersama-sama pergi ke luar ruangan untuk, yang aku baru tahu belakangan, anti gen.
Anti gen
Di sini ada kejadian menarik. Sewaktu menunggu, ada seorang laki-laki berkepala empat atau lima yang berbicara dalam Bahasa Indonesia tapi mempunyai aksen yang menunjukkan bahwa bahasa yang ia gunakan sekarang bukan bahasa ibunya. Curi-curi dengar, ia ternyata berkebangsaan Korea. Tak disangka, ia ternyata duduk di sebelah kananku. Kuingat kembali, mungkin ia duluan yang mengajak aku ngobrol. Perbincangan kami singkat tapi entah kenapa terasa bermakna sekali. Ia bertanya kemana aku akan pergi dan untuk apa aku pergi. Aku pun bertanya hal yang sama. Dari yang dapat kusimpulkan, ia berada di Indonesia untuk berbisnis, namun karena situasi ekonomi Indonesia yang tak kunjung membaik, ia memutuskan untuk pulang ke Korea. Aku juga bertanya sejak kapan ia berada di Indonesia dan seingatku ia berkata sejak tahun 1964. Mungkin maksudnya tahun kelahirannya kali ya. Karena kalau dilihat dari Bahasa Indonesianya yang masih patah-patah dan dari penampilannya, ia tak mungkin berada di Indonesia sejak tahun itu.
Kemudian, ia dipanggil untuk periksa anti gen. Seperti ucapannya yang bervolume besar, batuknya pun terdengar keras sekali. Di menit singkat itu, aku melihat berbagai reaksi dari orang-orang yang lubang hidungnya diperawani. Ada yang batuk-batuk, ada yang bersin, ada juga yang sampai mengeluarkan air mata. Setelah si om ini selesai, ia berdiri di depanku sembari bermain hp. Entahlah, mungkin mengecek notifikasi yang masuk. Atau jangan-jangan ia mau memperkenalkanku pada anak laki-lakinya di Korea? Hahaha, aku jadi salting sendiri.
Singkat cerita, ia hendak pergi karena urusannya sendiri sudah beres. Ia mendoakanku agar aku sukses dalam belajar sekaligus menanyakan namaku. Ia kemudian memberi tahukanku namanya juga. Jeon? Atau Jeong? Karena kedengarannya seperti Djong. Entahlah, pokonya berawalan dari huruf J. Mungkin pesannya inilah yang membuatku terkesan. Jujur, aku adalah orang yang mudah terharu jadi perhatian kecil seperti terasa bermakna sekali.
Pemeriksaan dokter
Kami kembali ke ruangan semula. Dan tak butuh waktu lama, kami berdua turut dipanggil untuk masuk ke ruangan lainnya. Kali ini bergiliran. Dokter mencermatiku dan karena aku memakai kacamata, ia turut menuliskan itu pada selembar kertas. Tak lupa meminta sertifikat MMRku. Kemudian aku disuruh berbaring di ranjang yang tersedia. Ia bertanya juga tentang kesehatan kulit karena katanya, pihak Taiwan tak mau ada orang kusta datang ke negaranya. Ia memeriksa detak jantungku juga perutku. Entah apa yang diperiksa, rasanya cuma dipijat singkat saja. Habis itu aku keluar.
In the mood for eek
Step terakhir yang harus kulakukan adalah yep, buang air besar. Karena kalau tidak ada feses, hasil lab-ku pun tak keluar. Aku kemudian membeli yakult, yoghurt dan susu beruang karena katanya semuanya itu membantu untuk buang air besar. Aku juga makan sebanyak-banyaknya agar urusan ini pun bisa cepat selesai. Percobaan pertama, gagal. Amunisi habis jadi aku pergi membeli lagi, yoghurt dan crackers. Entahlah, pada saat itu aku merasa malu karena terus makan sekaligus hopeless karena tahu, tak akan secepat itu makanan dicerna. Sekitar jam 10, aku memutuskan untuk pulang bersama rasa cemas. Besok aku harus vaksin di Lembang sehingga mau tak mau fesesku harus ada sore ini. Jadi, aku makan lagi. Buah pepaya, air kelapa, kacang, pisang coklat keju bolen dan semuanya berhasil membuatku muak. Benar-benar ingin muntah ku dibuatnya. Rasanya pada saat itu aku benar-benar tak mau makan lagi. Napasku sesak dan aku tak bisa berbuat apa-apa.
Tapi, toh akhirnya aku berhasil juga. Pada pukul setengah lima, aku buru-buru balik ke RS. BORROMEUS untuk mengantarkan kotak kecil penuh perjuangan itu. Hal ini harus dilakukan karena feses tak boleh berada di tempat lebih dari satu jam. Dengan semua perjuangan itu, aku meringis ketika ayahku ngomel karena harus bayar parkir. Aku tahu, sih rasanya gak adil untuk bayar parkir ketika kita memakai lahan parkir itu tak lebih dari 10 menit. Tapi dibandingkan dengan semua harga yang harus kubayar sebelumnya, bayar parkir itu nggak ada apa-apanya. Kalimat itu cuma tersampaikan pada ibuku nanti ketika aku menceritakan peristiwa ini. Pada ayahku, aku bisa membayangkan apa responnya. "Kamu kalo belum kerja, nggak usah ngomong soal murah ato ngganya, deh." Aku tahu, karena bukan sekali dua kali ia mengucapkan hal yang sama. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk pergi, kan.
Keesokan harinya aku mengambil hasil lab-ku. Syukurlah semuanya normal and I passed it. Ini pengalaman pertamaku medcheck yang ga akan aku lupain karena for the first time, aku beneran gak mau makan lagi. Yah, andai bisa bertahan buat 3 hari ke depan, mungkin aku udah bisa bakar kalorinya, kan. Tapi ngga, besoknya aku tetep makan lagi :)
Komentar
Posting Komentar