Review Buku: Snow Flower and The Secret Fan
Bercerita tentang Lily dan Snow Flower yang sejak umur delapan tahun sudah 'dijodohkan' oleh kedua orang tuanya. Bukan, bukan untuk menjadi sepasang kekasih, tapi lebih dari itu, untuk menjadi laotong. Jadi apa itu laotong? Laotong jika dibahasa-inggriskan akan menjadi old sames. Ini adalah sebutan untuk hubungan kedua perempuan yang berjanji akan saling memperhatikan, peduli, dan mengerti satu sama lain sampai akhir hidupnya.
Latar belakang
Sebelum lebih jauh mengenai hubungan ini, ada baiknya kita tahu dulu sedikit latar belakang ceritanya. Cerita ini mengambil latar pada abad ke-19 di China. Pada waktu itu, negara China sendiri belum terbentuk. Masyarakatnya sudah memiliki strata sosial yang terbagi-bagi, khususnya pembagian tugas antara laki-laki dan wanita. Laki-laki ditandai dengan outer realm dan wanita dengan inner realm.
Jadi maksudnya, laki-laki bekerja di luar, entah sebagai petani, butcher, penjual, dan lain sebagainya. Perempuan bertugas mengurus rumah tangga; menjahit, memasak, dan mengurus anak. Kalau dipikir-pikir, gak jauh beda sama masyarakat beberapa tahun ke belakang, kan? Sedikit banyaknya pasti masih ada yang sama.
Untuk alasan itulah, buku ini meski ditulis pada tahun 2005 (ai baru lahir, cuy) dan berlatar belakang dua abad sebelumnya masih relevan untuk dibaca. Tapi yang menjadi perhatian, justru bukan seberapa mirip cerita ini dengan kehidupan masa kini. Yang menjadi fokus utamanya adalah kehidupan para wanita di sana, khususnya Lily dan laotong-nya, Snow Flower.
Pada saat itu, pembagian tugas antara pria dan wanita yang amat kontras membuat kedua pihak saling tidak mengetahui apa-apa saja yang terjadi satu sama lain. Misalnya, para wanita tidak mengerti hal-hal mengenai perdagangan, perpajakan, pemberontakan, atau bahkan abjad yang dipakai para lelaki. Begitu juga sebaliknya, laki-laki tak mengerti bagaimana caranya mendidik anak, membersihkan rumah, atau merawat seseorang yang sakit.
Jadi bisa dibayangkan selalu ada jarak yang membentang antara laki-laki dan perempuan bahkan ketika mereka sudah menikah sekalipun. Beda dengan laotong yang berasal dari gender yang sama dan sudah terikat sebelum mereka menginjak usia remaja. Tak sembarang orang bisa mempunyai laotong karena hanya merekalah yang punya ciri khusus dan memiliki delapan angka yang sama.
Foot Binding

Salah satu ciri khusus tersebut adalah 'perfect golden lilies' yang didapat setelah 'foot binding'. Ini adalah praktek di mana para ibu mematahkan kaki anak perempuannya supaya ukurannya menjadi sekecil mungkin. Tak usah bicarakan betapa sakitnya ketika kakimu sengaja dipatahkan, ditekuk sedemikian rupa lalu diikat kuat-kuat agar membentuk kaki yang dianggap sempurna.
It's ridiculous, you may think. Tapi 'perfect golden lilies' yang Lily miliki mampu mengangkatnya menjadi seorang yang dihormati dan disegani, Lady Lu. Orang bilang, takdir selalu mempunyai jalannya sendiri. Meski Lily dan Snow Flower terikat dalam satu ikatan yang lebih kuat dari ikatan suami-istri, nasib Snow Flower justru berbanding terbalik dengan Lily.
Ia yang berasal dari keluarga yang cukup kaya, harus menelan pil pahit ketika obat-obatan menggerogoti tubuh ayahnya. Hal ini berimbas juga pada pasangannya di kemudian hari. Kalau kata orang Jawa, cari pasangan itu harus lihat bibit, bebet, dan bobot. Kurang lebih itu juga yang terjadi pada masa itu. Melihat ayah Snow Flower yang bangkrut secara tak terhormat, membuat tak ada seorang pun yang ingin menikahinya.
Kecuali keluarga seorang butcher. Pada masa itu, butcher dianggap sebagai pekerjaan yang kotor. Ini mungkin ada hubungannya dengan kepercayaan Buddha yang dianut oleh masyarakat setempat. Meski begitu, pekerjaan ini dianggap lebih baik daripada petani penggarap yang memiliki penghasilan lebih rendah.
Sepanjang hidupnya, nasib selalu berbaik hati pada Lily yang kemudian menjadi Lady Lu, wanita yang begitu dihormati di desanya. Ia melahirkan banyak anak lelaki, mengurus ibu mertuanya yang sedang sakit sampai ajal menjemputnya, berhasil kembali dengan selamat dari gunung setelah pemberontakan dihalau. Hal-hal seperti itulah yang seharusnya para wanita lakukan tapi tak semuanya bisa berhasil.
Singkatnya, dengan kehormatan yang ia terima, baik di dalam keluarganya maupun di desanya, ia berubah menjadi wanita yang tak sabaran, selalu mengikuti aturan yang dibuat oleh para lelaki, dan berpikir menurut pemahamannya sendiri. Yang terutama di antaranya adalah gagal menjadi laotong yang baik bagi Snow Flower.
Klimaks dari buku ini sendiri ditempatkan di seperempat terakhir buku. Walau begitu, aku tak sekalipun merasa kebosanan saat membacanya. Karena di setiap lembarnya, aku dibuat terperangah oleh situasi pada masa itu. Memang benar bahwa pada setiap zaman ada kesulitannya masing-masing. Tentu tak bisa dibandingkan dengan kesulitan sekarang. Tapi sebagai perempuan, aku sudah bersyukur dilahirkan di zaman sekarang.
Bisa menulis dengan leluasa seperti ini dan dipahami baik oleh lelaki maupun perempuan, is that simply a bless? Tapi rasanya asik juga kalau menulis menggunakan nรผshu, abjad khusus yang dibuat untuk perempuan dan oleh perempuan.
Banyak hal yang belum disinggung dari review (aka sinopsis singkat) ini. Misalnya, apa peran kipas bagi Lily dan Snow Flower, tradisi sebelum menikah, tradisi penguburan, pentingnya taat pada mertua khususnya bagi perempuan, puisi-puisi dari zaman dinasti Tang dan masih banyak lagi. Semuanya ini memberikan insight baru bagi wanita Tiongkok pada masa itu.
Buku ini cocok buat kamu yang kurang suka konflik dramatis, drama yang berlebihan, dan ingin tahu tentang kehidupan wanita Tiongkok pada zaman dahulu. Aku beneran menikmati pembacaan buku ini dan ada beberapa pemikiran yang aku ambil juga untuk kehidupan sehari-hari despite latar waktu yang berbeda jauh.
Komentar
Posting Komentar